Social Media

Perlukah Perda Syariah untuk Mengatur Kehidupan Islami?

Berbincang mengenai Perda Syariah, kebijakan ini lahir dari rahim masing-masing daerah sesuai dengan kebutuhan lokal daerah tersebut, tapi dengan syarat mutlak tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar, dan Peraturan Pemerintah. Namun, realitasnya dalam satu daerah tidak hanya bernaung satu agama, suku, ras, dan kelompok tertentu. Tentu jika diberlakukan akan menuai ketimpangan pada kelompok lain. Bukankah produk hukum dibuat untuk melindungi dan menjamin masyarakat? Jika malah memunculkan hal yang sebaliknya, artinya hak sebagai warga negara telah terusik. Tentu hal ini telah mengkhianati nilai-nilai ideologi bangsa kita, Pancasila.

Sebenarnya, lagi-lagi ini semua tentang pemaknaan agama dan cara pandang kita. Ada yang menganggap ekspresi keagamaan hanya sebatas konsumsinya terhadap produk-produk yang dianggap islami. Namun, banyak pula masyarakat kita yang menganggap religiusitas keagamaan tidak hanya sekedar simbol-simbol keagamaan semata, melainkan tertuang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti halnya kehidupan santri. Kehidupan santri tidak ada produk aturan yang menggunakan label syariah, tetapi memiliki nilai-nilai agama yang tertuang dalam kehidupannya.

Menyikapi Perda Syariah dengan Cara Pandang Pesantren

Sebenarnya kita perlu nyantri untuk sedikit banyak membenahi pemaknaan kita terhadap agama. Belakangan ini agama hanya sebagai jubah, substansi ajarannya semakin tergerus. Pesantren menjadi salah satu pilar yang sangat penting guna mengemban substansi-subtansi ajaran Islam. Sebab selain mencerdaskan secara intelektualitas dan spiritualitas, pesantren pun memiliki tugas yang besar dalam menjaga keutuhan negeri.

Posisi pesantren sangatlah kuat dalam memberikan pemahaman kepada para santrinya agar Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin. Pesantren menghindari mengajarkan pemahaman yang mengarahkan kepada fanatisme golongan di samping kebenaran ajaran agamanya yang dianutnya. Misi perdamaian ini sesungguhnya sejak awal munculnya pesantren telah diterapkan oleh para kiai, baik melalui kurikulum maupun tingkah laku sehari-hari.

Sebagai lembaga pendidikan Islam menebar misi “rahmatan lil alamin”, pesantren menjadi rahmat bagi semua orang melalui gerakan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Pesantren melakukan pembelajaran perdamaian untuk santrinya melalui empat prinsip pesantren, yaitu tawassuth (pertengahan); tidak ekstrim, tawazun (keseimbangan); tidak berat sebelah, i’tidal (jejeg/konsisten-proporsional); tidak condong kekiri-kirian atau kekanan-kananan, dan tasamuh (toleran). Kesemua prinsip tersebut diajarkan melalui bahasa santri yaitu pembelajaran dengan kitab kuning yang diajarkan hampir setiap hari.

Budaya pembelajaran pesantren tersebut menjadi landasan para santri dalam melihat dan menyikapi konflik secara komprehensif. Inilah sebuah langkah konkret aksi perdamaian yang dipelopori oleh santri. Selain dibekali ilmu agama yang mendasar, akhlak yang baik, serta cara dakwah yang santun, peran santri dalam mewujudkan perdamaian untuk semua umat adalah sebuah representasi dan manifestasi dari kontekstual Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kasih sayang yang diajarkan dalam Islam bukan hanya untuk sesama muslim tetapi untuk semua manusia tanpa terkecuali.

Perannya sangat nyata, pondok pesantren secara istiqamah tetap mempertahankan tradisi kedamaian, keseimbangan, dan keharmonisan lingkungan. Pesantren secara doktrinal tetap mengembangkan prinsip ukhuwah islamiyahukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah dalam upaya memperkokoh tatanan masyarakat di dalam pesantren, masyarakat sekitar pesantren, masyarakat umum, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak nilai Islam yang menjunjung perdamaian diajarkan di pesantren, juga termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diajarkan melalui kuliyatul khoms.

Peran pesantren dalam pembudayaan nilai, norma, sekaligus pesan-pesan keagamaan yang sarat dengan harmoni, kerukunan, persatuan, dan kedamaian sangat penting. Termasuk di dalamnya melestarikan budaya lokal dan memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis di sekelilingnya. Dalam pendidikan formal dan non formal santri perlu dibangun kesadarannya tentang keragaman dan toleransi untuk ke depannya sebagai bekal di tengah masyarakat yang beragam. Nilai-nilai Islam dalam pesantren menjadi ruh kehidupan para santri, walaupun tanpa ada formalisasi aturan agama. Wallahhu a’lam.

Pegiat kajian Tafsir Pesantren Sunan Pandanaran. Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran dan Alumnus Sekolah Menulis Kreatif Jogja.