Social Media

Sesat Pikir

Penduduk sebuah kota kecil memutuskan membangun jembatan untuk menghubungkan dua sisi kota. Untuk itu, mereka merekrut seorang penjaga. Seorang warga mengusulkan merekrut akuntan guna mengurus gaji si penjaga. Sang akuntan kemudian meminta dibantu staf keuangan. Untuk mengurus tiga pekerja, tentu saja diperlukan seorang manajer.

Suatu saat, Dewan Kota memutuskan mengurangi anggaran pengelolaan jembatan dengan mengurangi tanggungan SDM. Maka, penduduk memutuskan: penjaga jembatanlah yang harus dikenai PHK karena ini adalah pekerjaan yang lebih rendah kastanya!

Kisah ini saya baca di buku Developing Leaders Around You karangan John C Maxwell, dan menjadi gambaran salah kaprah yang sangat tepat: bagaimana mudahnya kita tersesat di dalam masalah yang ada sehingga menjauh dari inti masalah tersebut.

Sering sekali kita berangkat dari sebuah titik persoalan, bergerak menuju titik penyelesaian. Namun, kemudian dalam perjalanan mengelola persoalan itu, kita menemukan hal-hal yang menurut kita ”harus” kita lakukan sebagai reaksi atas persoalan di perjalanan itu. Setiap persoalan membawa tahap penyelesaian yang kemudian menjadi persoalan baru.

Sayangnya, jawaban terhadap persoalan baru malah semakin membuat kita menjauh dari persoalan intinya. Bahkan sering kali, inti persoalannya kemudian kita abaikan, kita buang, sementara kita ribut dengan masalah-masalah kembangan yang sudah tak lagi menjawab inti persoalan.

Di Indonesia, kita banyak temui situasi ini di tengah masyarakat ataupun di tingkat kebijakan dan penyelenggaraan negara, mulai dari pusat sampai daerah.

Contohnya, tren seruan menikah muda yang membuat angka perkawinan anak meningkat pada tahun 2011 dan 2017. Para orangtua yang cemas atas gaya pergaulan anak muda kekinian memutuskan menikahkan anaknya yang belum berusia legal untuk menikah (19 tahun).

Hal ini justru tidak membantu anak tumbuh menjadi orang yang matang dan memiliki kecakapan hidup yang penting sehingga mampu mengendalikan pergaulannya. Bahkan, banyak aparat sipil negara yang berpandangan anak-anak remaja ini boleh menikah di bawah tangan dulu dan disahkan belakangan.

Alih-alih mengajari anak mengambil keputusan yang lebih baik, anak dinikahkan. Sederhananya: mencegah kehamilan remaja di luar pernikahan dengan menerima kehamilan remaja di dalam pernikahan, seakan-akan ini membedakan persoalan turunannya.

Padahal, anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berisiko tinggi mengalami berbagai problem di kemudian hari: pendidikan rendah, komplikasi kehamilan, kematian ibu dan bayi, bayi lahir stunting, kualitas pengasuhan anak yang rendah, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan risiko perceraian.

Tak jarang, dalam sebuah rumah, para pegiat isu ini menemukan formasi keluarga dengan beban berlipat: ibu usia muda memiliki anak remaja yang juga telah memiliki anak.

Ketakutan yang masih bersifat kemungkinan (pergaulan bebas dan kehamilan remaja) justru dihadapi dengan pilihan yang menciptakan masalah-masalah lain yang lebih besar (problem ketangguhan keluarga). Tak heran, indeks pembangunan manusia kita masih rendah dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Sebagai contoh lainnya adalah perspektif dan pendekatan sebagian besar aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum dalam mengelola potensi konflik sosial. Untuk mewujudkan kerukunan masyarakat atau harmoni sosial, kepentingan kelompok mayoritas diutamakan dan kepentingan kelompok yang lebih kecil dan lemah dianggap lebih bisa dikorbankan. Demokrasi yang berprinsip dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat direduksi menjadi mayoritarianisme yang menganggap bahwa kelompok mayoritas memiliki hak lebih besar daripada kelompok minoritas.

Singkatnya: yang minoritas harus menghormati yang mayoritas, dengan asumsi harmoni sosial akan terganggu apabila kepentingan mayoritas terganggu.

Masyarakat mayoritas, sayangnya, sering kali lebih sibuk menjadi silent majority sehingga suara mereka diwakili kelompok-kelompok yang memaksakan pendapatnya atas nama mayoritas.

Namun, pada saat-saat tertentu, pendekatan ini berbuah persoalan. Berulang kali terjadi kasus di mana kelompok masyarakat lemah atau minoritas terpaksa kehilangan hak konstitusinya sebagai warga negara demi alasan menjaga kerukunan masyarakat atau harmoni sosial. Kasus penolakan tempat ibadah kelompok minoritas Kristen di beberapa tempat dan kelompok minoritas muslim di Minahasa beberapa hari ini menjadi contoh.

Pemerintah menjadi kelabakan karena konflik yang ingin dicegah toh tetap terjadi. Hak konstitusi warga untuk beribadah tidak terpenuhi, harmoni sosial pun tak terpenuhi. Dan konyolnya, para tokoh, baik di pemerintahan maupun di masyarakat, sering kali tidak sadar bahwa perspektif mayoritarianisme itulah yang menjadi simpul pokok persoalannya, bukan kelompok minoritas.

Berpegang pada kepentingan mayoritas, bukan pada konsep hak konstitusi warga, hampir dapat dipastikan menjadi bom waktu dalam konteks harmoni sosial.

Kedua contoh kasus ini cukup menunjukkan betapa mudahnya kita tersesat dalam belantara persoalan akibat bersikap reaktif, apabila kita tidak memiliki visi yang jelas dan cara pandang persoalan yang tepat, serta keteguhan memegang nilai-nilai dan prinsip hidup bersama sebagai sebuah bangsa.

Ketiga hal itu adalah antidot yang menghindarkan kita dari perangkap bersikap reaktif dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa dan negara. Jangan sampai seperti penduduk kota kecil yang memiliki manajer dan akuntan, tetapi tidak memiliki penjaga jembatan penting itu.

Hanya dengan demikianlah, kita bisa mencontoh pegadaian yang kabarnya mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 2 Februari 2020)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.