Social Media

Tafsir Muslimah Progresif dan Harapan untuk Asama

Kami berangkat ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dengan taksi yang sama. Penerbangan masih dua jam lagi. Asama, perempuan yang bersama saya, akan pulang ke Thailand dan saya ke Yogyakarta. Selama delapan hari, kami baru saja mengikuti sebuah lokalatih bertema keadilan gender di Cyberjaya, Malaysia bersama perempuan aktivis muslim Asia Tenggara. Saya mengajak Asama makan sambil menunggu waktu check in. Akhirnya, kami duduk di sebuah restoran cepat saji KLIA.

Sejak di taksi, saya menyimpan sebuah pertanyaan untuk Asama. Perempuan Pattani ini menangis dengan cukup emosional ketika sesi evaluasi. Saya yakin ia menyimpan sebuah cerita yang layak untuk didengar lebih seksama.

“Asama, kenapa kamu menangis cukup keras di akhir acara? Apakah kamu merasa materi sepanjang workshop cukup terkait dengan pengalamanmu?”

“Ah, Kalis…Ya, ya, saya malu sekali karena tiba-tiba begitu sentimentil di depan kalian semua.”

Lokalatih yang kami ikuti menyajikan banyak materi, antara lain bahwa tauhid adalah dasar prinsip keadilan relasi perempuan dan laki-laki. Ternyata, jika yakin pada tauhid, seharusnya semua muslim anti-patriarki. Kami juga mendapat metode membaca ayat Alquran, teks hadis, dan maqalah fikih dengan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Sepanjang forum, Asama sangat antusias menyimak bagaimana seharusnya ayat tentang poligami, kepemimpinan, waris, pernikahan anak, dan isu-isu perempuan lain dibaca dengan adil dan tepat.

Asama lalu bercerita dengan intim. Ia baru saja memeluk Islam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, ia adalah pemeluk Buddha seperti layaknya penduduk mayoritas Thailand. Ia mendapatkan pengalaman spiritual ketika menempuh program magister Antropologi di University of Aberdeen, Skotlandia.

Pada sebuah malam, ketika ia berjibaku dengan buku-buku diktat, matanya menangkap sebuah kalimat yang baginya cukup indah: “God is everywhere.” Bagi seorang perantau, entah mengapa ia merasa kalimat sederhana itu begitu powerful.

Keesokan harinya, ia masih memikirkan kalimat itu. Dan ketika sedang belajar di perpustakaan universitas, tiba-tiba seseorang yang tidak ia kenal menggelar sajadah di depan tempat duduknya dan melaksanakan salat. Pada sore hari, di lift kampus, ia disapa “assalamualaikum” oleh seorang muslim.

Lewat beberapa pengalaman itu, diam-diam Asama mulai belajar mengenal Islam. Ia sangat suka dengan konsep tauhid (lailahailallah). Sampai ketika ia kembali ke Thailand, ia akhirnya mantap untuk masuk Islam. Ia mengucap dua kalimat syahadat dengan bantuan seorang imam di Pattani. Sebelum mengucap dua kalimat syahadat, Asama sempat meminta tolong kepada imam masjid dan para jamaah agar status muslimnya dirahasiakan dulu. Ia ingin mempelajari Islam dengan proses sambil memberikan pemahaman kepada keluarga besarnya.

Namun, hal yang ia inginkan tidak terjadi. Sebentar saja setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, namanya diumumkan ke seluruh kota. Ia langsung diwajibkan mengenakan jilbab. Ia langsung diajarkan banyak sekali hukum Islam yang berlaku untuk muslim Pattani. Kepalanya langsung penuh dengan halal-haram, surga-neraka. Islam yang ia kenal sebagai “God is everywhere” berubah menjadi produk-produk hukum. Lebih-lebih, produk hukum itu semakin tidak ia mengerti ketika sampai pada isu-isu perempuan. Ia bukannya tidak ingin taat, melainkan ingin berislam dengan sepenuh kesadaran. Ia ingin mengerti benar maksud dari sebuah perintah sehingga tak ada penyangkalan lagi dalam batinnya.

“Beberapa tahun ini saya menyimpan banyak sekali pertanyaan terkait dengan hak-hak perempuan dalam Islam. Saya tidak menyangka bahwa ternyata tafsir Islam mulai dari ayat Alquran, hadis, dan fikih itu beragam. Saya baru tahu bahwa syariat dan produk hukum berbasis syariat itu berbeda.”

Saya bercerita bahwa di Indonesia pengalaman berislam dan laku keberagamaan sangat beragam. Berkaitan dengan isu hak-hak perempuan, Indonesia bahkan telah punya banyak kiai feminis yang menulis buku fikih perempuan yang adil gender. KH Husein Muhammad, yang minggu lalu baru saja menerima gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang, adalah salah seorang pengawalnya. Saya ingat ketika Dr. Zayna Anwar, seorang aktivis perempuan muslim Malaysia berujar bahwa ia sungguh iri melihat Indonesia, sebab di Indonesia perempuan muslim tidak sendiri ketika menyuarakan haknya, tetapi mendapat dukungan penuh dari laki-laki ulama yang memiliki otoritas.

“Saya ingin mahasiswa muslim saya mendapat pandangan yang beragam juga, Kalis. Guru-guru agama saya di Pattani masih sangat seragam. Saya putus asa melihat fakta banyak laki-laki di sekitar saya melakukan pemaksaan dan kekerasan pada perempuan dengan mengatakan bahwa mereka melakukan itu berdasarkan nilai-nilai agama Islam,” demikian Asama berkeluh kesah.

Dunia telah menjadi desa global. Beberapa menit setelah percakapan itu, mungkin saya dan Asama akan berpisah di check-in counter KLIA. Tapi, beberapa menit sesudahnya, kami telah menjadi teman di Facebook.

Saya menyarankan agar Asama memutar film-film dokumenter bertema keberagaman dan keadilan gender di kampusnya. Seseorang sering kali mengklaim kebenaran atau merasa besar sebab ia tidak melihat hal lain di luar dirinya. Sering ada istilah “kurang piknik” untuk mengomentari orang-orang yang mudah marah hanya karena pandangan yang berbeda. Tetapi, hari ini, piknik tak harus piknik fisik. Ada banyak buku dan film berkualitas yang dapat ditonton. Saya pun sering menyimak dokumenter-dokumenter yang berkisah soal perempuan muslim Taliban yang sering kali memilukan. 

Saya menyemangati Asama agar mulai membentuk komunitas untuk berdiskusi hal-hal keseharian yang mereka rasakan dalam berislam sebagai minoritas. Tak usah berpikir bahwa komunitas adalah sekumpulan orang dengan jumlah banyak. Cukup empat hingga lima orang saja untuk memulai obrolan. Jika menarik, lama-lama komunitas itu akan berkembang dengan sendirinya. Tetapi jika tak pernah dimulai, tentu saja selamanya Asama tetap sendirian merasakan kegelisahannya.

Sampai jumpa lagi, Asama! Saya berjanji suatu saat akan main ke Prince Songkla University dan juga menengok perempuan-perempuan muslim di Pattani, Thailand.

Kolumnis dan esais. Mendalami isu-isu perempuan dan kesetaraan. Tinggal di Yogyakarta.