Social Media

Gus Dur dan Toleransi dalam Sepakbola

Sepakbola bukan saja soal permainan antar dua kesebelasan di atas rumput hijau, atau soal kalah dan menang. Tapi lebih dari itu, sepakbola juga bicara tentang kemanusiaan, persahabatan, toleransi, serta sepakbola juga terkadang bisa hadir sebagai alat pemersatu bangsa. Ya, semua bisa bersatu karena sepakbola. Tidak percaya? Saya kasih contoh kisah Didier Drogba, eks pemain depan Chelsea yang pernah menghentikan perang saudara di negaranya berkat keberhasilannya membawa Pantai Gading lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya yang kala itu digelar di Jerman pada 2006.

Kisah Didier Drogba yang dapat menyatukan dua kubu yang berperang itu merupakan perwujudan bahwa sepakbola sejatinya bisa menyatukan jika semua stakeholder yang terlibat di dalamnya, baik pemain sampai suporter, mampu berpikir secara dewasa, mampu memahami sepakbola dalam konteks yang benar.

Selain dapat mempersatukan dua kubu yang berperang, sepakbola, dalam fakta yang terjadi selama ini, juga dapat mempersatukan dua insan berbeda agama. Mesut Ozil (Islam) dan Cristiano Ronaldo (Kristen) misalnya, yang bersahabat dekat sejak bermain bersama di Real Madrid. Saking dekatnya, Ronaldo yang beragama Kristen senang menunggui Ozil mengaji dan beribadah.

Tak hanya itu, menurut Ozil, Ronaldo juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap Al-Qur’an. Pemain yang juga terkenal dengan sebutan CR7 itu mengaku merasakan kedamaian jika mendengar Ozil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Toleransi di antara Ozil dan Ronaldo bahkan lebih dari itu. Ronaldo kerap mengingatkan Ozil yang seorang Muslim untuk mengucapkan Bismillah.

Kisah persahabatan Ronaldo dan Ozil, yang berbeda keyakinan, hanya salah satu yang terjadi dalam dunia sepakbola. Pemain depan yang beragama Katolik milik klub sepakbola asal Jerman, Borussia Dortmund, yakni Erling Haaland juga memiliki kedekatan dengan rekan setimnya yang menganut Islam bernama Mahmoud Dahoud. Persahabatannya dengan Mahmoud Dahoud bahkan sampai membuat Haaland mengenal kalimat tauhid ‘Alhamdulilah’, yang biasanya diucapkan oleh orang Muslim sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhannya.

Yang terbaru, pemain berdarah Norwegia itu menuliskan kata ‘Alhamdulilah’ di akun Twitternya setelah ia membawa Borussia Dortmund memenangkan pertandingan melawan Bayer Leverkusen pada 11 September 2021 lalu. Tentu saja, postingan Haaland itu kemudian menjadi viral, jadi perbincangan netizen, sebabnya, karena ia yang sejatinya seorang Katolik. Jadi membikin warganet kaget, dan bertanya-tanya.

Sisi yang bisa diambil dari kisah di atas adalah bahwa persahabatan tak mengenal jenis kepercayaan atau keyakinan seseorang. Sekalipun berbeda agama, menjalin pertemanan dengan baik merupakan sebuah hal yang harus dilakukan. Yang terpenting harus saling menghormati setiap perbedaan yang ada. Dan lewat sepakbolalah, kedua pemain itu dipersatukan meskipun berbeda keyakinan.

Bicara soal toleransi, maka ingatan penulis tertuju pada satu sosok yang namanya begitu harum di Indonesia, yakni KH Abdurrahman Wahid, atau yang lebih masyhur dikenal sebagai Gus Dur. Tak dapat dimungkiri bahwa tokoh yang pernah menduduki jabatan Presiden ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi keberagamaan. Gus Dur dikenal sebagai tokoh kemanusiaan dan ikon toleransi antarumat beragama.

Gus Dur bukan seorang ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama saja, tapi sosok yang juga sebagai pengamat sepakbola ini merupakan pahlawan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang kaya akan kebudayaan dan perbedaan. Selama hidupnya Gus Dur bahkan menjadi panutan dari berbagai umat beragama di Indonesia, tidak hanya umat Islam saja.

Merawat dan menjaga toleransi bagi Gus Dur merupakan proses penting untuk menciptakan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Karena, jika sampai rusak keharmonisan itu akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali. Gus Dur selalu menekankan agar setiap warga negara saling menghormati perbedaan.

Gus Dur bersahabat dengan berbagai tokoh lintas iman. Salah satunya persahabatannya dengan tokoh Katolik di Indonesia Romo YB Mangunwijaya. Kedua tokoh ini sangat akrab dan bahkan sering kali keduanya bercanda saat sedang bersama.

Suatu ketika, Romo Mangun yang Katolik berujar tentang Gus Dur sahabatnya. “Beliau ini jauh lebih Katolik dibanding saya, hanya saja beliau belum dibaptis,” kata Romo Mangun.

Mendengar hal itu, Gus Dur langsung menimpali: “Sampean itu juga lebih Islam daripada saya, hanya saja sampean tidak hapal syahadat.”

Romo Mangun dan Gus Dur, dua orang berlatar belakang berbeda, namun memiliki rasa saling menghormati perbedaan, saling menolong, membantu antarsesama, dan lain sebagainya. Gus Dur menghargai keyakinan Romo Mangun, begitupula sebaliknya. Persahabatan beda agama kedua tokoh inilah yang seharusnya ditiru oleh kita semua.

Apalagi Islam sendiri sangat menganjurkan sikap toleransi, tolong-menolong, hidup yang harmonis dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Islam juga tidak melarang umatnya bersahabat dengan orang yang berada di luar kepercayaan mereka. Yang terpenting dalam persahabatan beda agama bisa saling menghormati perbedaan pendapat, khususnya dalam hal beribadah. Jangan sampai saling menyalahkan, apalagi sampai mengkafir-kafirkan, karena itu dapat menimbulkan permusuhan di antara keduanya.

_______________

Artikel ini pertama kali terbit di alif.id

Penggerak Komunitas GUSDURian Pekalongan. Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pekalongan. Peminat kajian Literasi Digital, Ekonomi Islam, dan Sepak bola.