Social Media

Kegagalan Demi Kegagalan Gus Dur

Jika kita menelusuri riwayat hidup Gus Dur, akan terlihat bahwa ia adalah sosok manusia yang boleh dikata “sering gagal”. Kok bisa? Ya, memang begitulah kenyataannya. Kita bisa mulai dari yang sangat umum diketahui: Gus Dur tak pernah berhasil menyelesaikan pendidikan S-1. Tahun 1962 Gus Dur pergi ke Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar atas beasiswa dari pemerintah yang merupakan kelanjutan kerja sama negara-negara yang ikut dalam Konferensi Asia-Afrika. Di Kairo ini ia lebih banyak baca buku, nonton film, dan keluyuran. Ia bosan kuliah karena pelajarannya, menurutnya, banyak mengulang yang sudah ia dapatkan di pesantren di tanah air.

Apa pun alasannya, Gus Dur gagal menyelesaikan kuliah di Al-Azhar. Hanya dua tahun di kota ini, ia kemudian hengkang ke Irak dan mengambil kuliah lagi di Universitas Baghdad. Jadi, dia mau nyoba jadi sarjana lagi nih, tapi lagi-lagi gagal dan hanya sanggup bertahan dua tahun di bangku kuliah.

Dua kali kuliah dan dua-duanya gagal diselesaikan. Untuk yang kedua ini, alasannya Gus Dur, ia tidak suka sistem hafalan. Apa pun alasannya, Gus Dur gagal. Anda yang bisa selesai S-1, lebih-lebih di Kairo atau Baghdad, tentu pada tingkatan ini lebih hebat dari seorang Gus Dur.

Setelah kegagalan ini, ia mencoba peruntungannya kuliah ke Belanda. Ia sangat tertarik dengan tradisi ilmiah di universitas-universitas di Barat. Ia pun mendaftarkan diri ke Universitas Leiden. Setelah beberapa bulan menunggu dan mukim di kota ini, ia kemudian menerima kenyataan pahit: tidak diterima. Alasannya, kuliah-kuliahnya di Mesir dan Irak tidak diakui kesetaraannya. Gus Dur pulang dengan perasaan sedih.

Nah, Anda yang bisa kuliah di Eropa, apalagi di Leiden, layak berbangga karena dalam hal ini Anda jauh di atas Gus Dur.

Ia pulang ke tanah air dan kembali ke Tebuireng, Jombang. Sambil mengajar di pesantren, konon ia berjualan kacang goreng hasil olahan sang istri untuk menunjang ekonomi keluarga. Ia kemudian mencoba peruntungan baru: melamar jadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Hasilnya: tidak diterima. Duh Gus! Kurang apa pinternya, plus anak mantan menteri agama dan cucu pendiri NU lagi. Saya terus terang nggak bisa membayangkan perasaan Gus Dur saat itu.

Anda yang jadi dosen, lebih-lebih di IAIN Sunan Ampel, dalam hal ini jelas lebih hebat dari Gus Dur. Kipas-kipaslah!

Suatu kali ketika sedang aktif-aktifnya mengkritik pemerintahan Orde Baru, Gus Dur ditanya wartawan: sebenarnya apa sih cita-cita dan obsesinya? Gus Dur menjawab ringkas dan enteng: menulis novel. Kita tahu, Gus Dur tak pernah berhasil mewujudkan impiannya ini. Anda, yang telah berhasil menulis novel, tentu jauh lebih keren daripada Gus Dur. 

Demikianlah. Gus Dur ternyata cukup sering gagal dalam perjalanan hidupnya. Mungkin ada banyak kegagalan lainnya. Tapi, hidup harus bergulir dan kegagalan itu bagian dari rute dan halte yang harus dilewati untuk perjalanan yang lebih besar lagi. Andai dulu ia bisa menyelesaikan kuliahnya di Mesir atau Irak, para santri Tebuireng dan orang-orang sekitar Jombang akan mengenal seorang Gus Dur dengan gelar “Lc” yang amat mentereng saat itu, yang mengabdi di pondok hingga menjadi pimpinan pondok sembari sesekali main politik tingkat daerah. Mungkin. Tapi, dengan itu, mungkin juga takkan ada Gus Dur yang kita kenal.

Demikian juga kalau dulu dia diterima di Universitas Leiden, lingkungan akademis Indonesia mungkin akan mengenal seorang ilmuwan sosial bergelar M.A. atau bahkan Ph.D. yang mengajar di sebuah perguruan tinggi ternama sembari jadi konsultan pembangunan di sana-sini. Mungkin ia akan jadi guru besar yang masyhur. Setidaknya yang mengenal dan mengingatnya adalah para mahasiswa dan bimbingannya.

Gus Dur juga tidak diterima ketika mendaftar jadi dosen, jika tidak, kampus IAIN Sunan Ampel tentu akan mencatat nama Abdurrahman Ad-dakhil sebagai dosen PNS yang rajin meneliti, menulis, dan berpikir keras siang malam agar risetnya dimuat di jurnal internasional tak peduli hanya dibaca empat lima orang. Jika nasib baik, mungkin ia akan jadi kepala jurusan, dekan, bahkan rektor. Tetapi, tentu saja dengan begitu kita juga tak akan mengenal Gus Dur yang humoris dan nyentrik.

Sebelum pergi ke Mesir, konon Gus Dur sebenarnya ingin mendirikan Ikhwanul Muslimin cabang Indonesia. Untungnya ia keburu berangkat ke Mesir dan melihat langsung bagaimana sebenarnya Ikhwanul Muslimin di tanah asalnya. Cita-cita ini pun melempem. Meleleh seperti plastik yang terbakar. Bayangkan kalau berhasil, “pangeran Tebuireng dan Nahdlatul Ulama” bikin cabang Ikhwanul Muslimin, akan seperti apa wajah Islam Indonesia?

Jadi novelis? Ini kayaknya keren. Mungkin kita akan melihat seorang novelis setara Pramoedya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Novelis hebat yang memperoleh award dari Yayasan Buku Utama, Dewan Kesenian Jakarta, atau bahkan Magsaysay. Beberapa skripsi, tesis, dan disertasi ditulis untuk membahas karya-karyanya. Kata-kata di dalam karyanya dikasih stabilo dan dikutip untuk dijadikan status di media sosial.

Ya, itu tentu kalau novelnya memang bagus dan berhasil. Jika tidak, setelah terbit seribu eksemplar dengan penjualan yang tertatih-tatih, penerbit letih memasarkan, novel dan Gus Dur sebagai nama penulisnya pun menguap ditelan waktu, hilang terlupakan. Hanya segelintir pengamat dan dosen sastra yang mengingatnya.

Tapi, kegagalan-kegagalan ini tampaknya memang terowongan yang harus dilewati oleh seorang Gus Dur.

Pada tahun 1993, setahun setelah pemilu 1992, kami di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bekerja sama dengan penerbit Mizan (Mas Hernowo, apa kabar?) membuat seminar berjudul “Demokratisasi di Negara-Negara (Berpenduduk) Muslim” di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Rencananya, hasil seminar akan kami terbitkan. Gus Dur yang kala itu makin keras menjadi pengkritik pemerintah dan memimpin Forum Demokrasi (FD) turut menjadi pembicara.

Pada sessi tanya jawab, Abdul Halim, aktivis yang juga sering berdemonstrasi, yang penampilannya seperti pejuang Taliban (para aktivis ’90-an pasti ingat nama ini karena ia sering orasi kala ada mimbar bebas. Mas Halim, di mana sampean sekarang?) angkat tangan untuk bertanya dan kasih komentar. Penggemar seminar saat itu sangat suka dengan model orang seperti Halim ini karena pertanyaannya selalu keras dan tajam.

Demikian juga kali ini. Halim menyerang dan menuduhnya menjadi pengkritik pemerintah hanya karena kecewa tidak diangkat menjadi menteri. Nyelekit banget kan!

Gus Dur tentu saja gusar, tapi tetap tenang. Ketika giliran tiba, dengan suara bariton dan retorikanya yang memukau, ia menjawab, dengan kata-kata yang bagian intinya saya parafrasekan dari ingatan berbunyi: “Catat ya, menteri itu kecil, saya pemilu kemarin justru diminta Pak Harto jadi wakilnya. Saya menolak, mengapa? Karena saya ingin jadi presiden….”

Para hadirin pun bergemuruh, bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Mungkin pernyataan Gus Dur itu dianggap bercanda karena itu terasa menghibur sekali. Mungkin pernyataan ini juga dianggap lancang dan berani, dalam iklim yang represif ia terasa seperti oase. Waktu itu Pak Harto masih kuat meski secara politik, dukungan tentara kepadanya merosot dan karena itu ia sedang membangun aliansi politik dengan sayap muslim ICMI.

Namun, saya yang waktu itu duduk di depan selalu ingat bahwa kata-kata itu diucapkan Gus Dur dengan serius, dengan tekanan yang penuh dan kuat. Saya yakin itu bukan guyonan dan retorika belaka.

Gus Dur memang ingin jadi presiden. Dan niat itu ia kemukakan secara terbuka di depan publik. Dan tidak seperti cita-cita di masa sebelumnya, kali ini ia berhasil.

Enam tahun kemudian ia benar-benar jadi presiden tanpa modal uang sepeser pun. Masa pemerintahannya yang singkat meninggalkan pengaruh politik yang amat kuat, di antaranya: pencabutan dwifungsi ABRI dan pendirian Kementerian Kelautan.

Barangkali itulah hikmah dari kegagalan demi kegagalannya.

(Artikel ini pertama kali dimuat di mojok.co)

Penulis dan peneliti. Direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.