Social Media

Humor sebagai Sarana Dialog

“Orang yang ingin tahu tentang orang lain, harus memahami lelucon. Jangan gampang tersinggung dengan lelucon.” (Abdurrahman Wahid, 1990) Tahun 1994. Di dalam satu acara mensyukuri dan merayakan 65 tahun YB. Mangunwijaya, seorang pastur Katolik, arsitek dan sastrawan, di hadapan sekitar 400-an orang dari beragam kalangan, Gus Dur mengemukakan sebuah humor:

Suatu hari seorang pastur pergi berburu ke sebuah hutan. Di dalam perburuan itu, ia menemukan seekor harimau yang sedang istirahat. Sang pastur menembakkan senapannya. 

Sayang sekali tembakannya tidak tepat sasaran dan sang harimau berhasil meloloskan diri. “Yach namanya juga pastur, nggak terlatih menembak,” celetuk Gus Dur. 

Orang-orang tertawa riuh. Tapi sang pastur pantang putus asa. Ia terus mengejar dan menembakkan senapannya, namun tak juga berhasil hingga akhirnya pelurunya ludes.

Tahu kalau peluru sang pastur sudah habis, kini giliran si harimau yang balik mengejar sang pastur. Pastur lari menyelamatkan diri, tapi si harimau terus mengejarnya. 

“Dalam hal olahraga, pastur –beda dengan kiai– lumayan lebih kuat,” kata Gus Dur bercanda diikuti ketawa para hadirin. Ujung pengejaran, pastur akhirnya sampai di tepi jurang. 

Pilihan pastur hanya dua: terjun ke jurang atau menyerahkan diri untuk disantap harimau. “Kalau terjun ke jurang, itu namanya bunuh diri. Tentu itu bertentangan dengan ajaran agama. Si pastur akhirnya membalikkan diri, memejamkan mata dan pasrah untuk diterkam,” demikian Gus Dur.

Lama menunggu, tapi harimau belum juga menerkam. Si pastur yang telah tenggelam dalam ketakutan heran, mengapa belum juga diterkam. Sesaat ia berharap harimau berubah pikiran dan pergi. 

Ia pun membuka mata, dan kaget karena ternyata harimau masih ada di hadapannya. Pastur pun bertanya: “Mengapa belum menerkam juga?” Harimau menjawab: “Kan yang namanya bersantap harus berdoa dulu, bapak pastur?”

Hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Saya ingat hampir lima menitan suasana hanya diisi tawa yang tak henti-henti. Gus Dur bercerita dengan tenang, runtut, dan sistematis. Deskripsinya jelas. 

Ketika memaparkan bagian dialog, intonasinya berubah dan beda, sesuai dengan tokoh yang diperankan. plus celetukannya yang mengena. Selain itu selalu ada unsur surprise di akhir cerita yang selalu mengejutkan. Sungguh, seorang story teller yang cakap dan hebat.

Di waktu lain, mungkin di tahun 1996, dalam sebuah Konferensi Agama-agama (KAA) di Salatiga, yang dihadiri para pendeta dan aktivis gereja, Gus Dur bercerita tentang dua orang pastur yang membuang jenuh dengan berenang di sungai. Asyik berenang, mereka tidak sadar kalau telah makin larut ke hilir. 

Ketika mereka hendak selesai baru sadar kalau seluruh pakaian mereka tertinggal di hulu. Jadi bagaimana caranya keluar dari sungai ini sementara mereka telanjang? Kedua pendeta itu bingung.

“Akhirnya keduanya nekat,” lanjut Gus Dur. “Pastur yang satu keluar dengan menutup wajah dengan kedua tangan, yang satunya lagi keluar dengan menutupi kemaluan dengan kedua tangannya.” Demikian Gus Dur menutup cerita yang seperti biasa diiringi gelak tawa hadirin.

Gus Dur dan Humor

Gus Dur dan humor memang sangat identik. Dalam setiap kesempatan perbincangan -formal maupun informal– ia selalu menyelipkan humor. Juga mendengarkan humor orang lain. Baku tukar humor dengan orang lain. 

Tapi dalam hal humor ini, Gus Dur adalah pendekar tanpa tanding. Humor adalah menu kesehariannya. Di mana ada Gus Dur di situ pasti ada gelak tawa. 

Duduk santai lesehan, berkendara mobil, hingga memberikan sambutan atau mengisi seminar, Gus Dur tak pernah alpa menyelipkan humor. Selalu ada saja bahan dan seperti tak pernah habis. 

Gus Dur memperoleh bahan humor dari buku-buku, di antaranya yang terkenal Mati Ketawa Ala Rusia (1986), yang edisi Indonesianya ia beri pengantar. Namun Gus Dur bukan seorang pengutip harfiah, ia pandai mengolah kembali, memodifikasi dan mengontekstualisasi humor agar cocok dengan waktu, tempat, dan audiensnya. 

Selain itu, sudah barang tentu, ia juga bisa membuat dan memproduksi humor sendiri, terutama dengan memainkan bahasa atau membolak-balik kata. Atau memplesetkan makna. Tak jarang humor itu muncul spontan seperti sebuah ilham dalam dirinya. 

Terkenal istilah-istilahnya misal “demokrasi seolah-olah” atau “demokrasi yang bukan-bukan” untuk menyebut model demokrasi yang dijalankan di Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Atau selorohnya misal: “Kalau HMI menghalalkan segala cara, PMII tidak tahu caranya” untuk menertawakan dua kelompok anak muda muslim yang hidup seperti ‘Tom and Jerry’. 

Sebenarnya bukan hanya secara lisan, dalam tulisan-tulisan pun tak jarang Gus Dur menyelipkan humor. Gaya tulisannya -seperti terbaca dalam esai-esainya di majalah Tempo— penuh dengan nada mengejek, menertawakan, menampilkan paradoks, sinisme, parodi, sarkasme dan lain-lain, baik terhadap (pemikiran) seseorang, kebijakan politik, ekspresi keagamaan maupun keadaan diri sendiri.

Judul-judul esainya sendiri sering sudah membuahkan pertanyaan dan kelucuan. Ingat misal seperti “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, “Lebaran Tanpa Takbiran”, “Istilah Sama Arti Beda”, “Islam Kaset dan Kebisingannya”, dan lain-lain. 

Seperti ditulisnya dalam “Melawan Melalui Lelucon” (1981), ada beberapa fungsi humor: 1) Sarana protes terselubung, 2). Wahana ekspresi politis, 3). Sarana menggalang kesatuan dan persatuan, dan 4). Kritik terhadap keadaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri. 

Demikianlah -sekadar menyebut beberapa — misal kita masih akan tersenyum ketika membaca esainya “Cak Nur: Tetap Tapi Berubah” (1982), ketika menggambarkan Cak Nur yang selera musiknya, “.. sudah berubah. Tidak lagi puas dengan Indonesia Raya dan Himne HMI…” 

Atau misal dalam “Islam Kaset dan Kebisingannya” (1982), ketika ia mengritik penggunaan toa masjid yang gebyah-uyah menyasar orang yang tak ada alasan (illat) untuk juga dibangunkan: orang tua jompo, wanita haid, atau anak yang belum akil balik. 

Kalimat penutup esainya sangat menggelikan: “Apalagi kalau teknologi lantang di malam buta itu hanya menggunakan kaset. Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.”

Humor sebagai Jembatan Dialog

Yang menakjubkan bagi saya tentang Gus Dur ini, bukanlah humor itu sendiri, tapi bagaimana ia bisa berbincang dengan begitu akrab dengan beragam kalangan, termasuk mereka yang berbeda agama. Kelakar itu begitu lepas. Tak ada lagi rintangan dan halangan. 

Tak ada prasangka. Karena itu tak ada yang merasa tersinggung, apalagi ternistakan. Toh, hakikatnya ini hanyalah humor. Ekspresi dan pemikiran mengenai Tuhan dan agama bukanlah kebenaran mutlak. Ia terbuka untuk dikritik, dipertanyakan, bahkan ditertawakan. 

Ia bukan Tuhan, bukan agama. Ia hanyalah ekspresi dan pemikiran mengenai Tuhan dan agama, bukan Tuhan atau agama itu sendiri. Hati-hati, jangan meleset memahami, yang kau kira ‘agama’, itu sebenarnya ‘pemikiranmu mengenai agama.’!

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak mungkin bisa bercanda, berseloroh lepas, berkelakar habis, dengan seseorang yang tidak kita kenal atau baru kenal. Kita juga tidak akan bisa berkelakar dengan orang yang memiliki jarak dengan kita: entah karena status sosial, atasan atau bawahan kita, atau pun karena perbedaan identitas, suku maupun agama, atau jenis kelamin.

Kita bisa berkelakar kalau jarak itu telah melebur. Kalau tak ada lagi marka, atas nama apa pun. Kalau tak ada prasangka. Yang ada adalah kebersamaan, kepercayaan, ketulusan, keikhlasan untuk saling berbagi dan menerima. 

Karena itu, pada tingkat tertentu, saya berpendapat bahwa kedewasaan dan kematangan beragama di antaranya terletak pada kemampuan dan kematangan berdialog antaragama, termasuk dan terutama dengan humor sebagai sarananya. Humor, karena itu, berfungsi sebagai ‘jembatan dialog.’ Namun fungsi ini tidak akan berjalan baik, jika tidak ada kedewasaan dan kematangan dalam berpikir dan beragama. 

Di dalam wawancara dengan majalah Humor (1990), Gus Dur mengatakan ada dua fungsi humor, tambahan atas fungsi yang telah dikemukakannya di atas. Yaitu sebagai sarana untuk menabrak segala batasan dan menghindari stres

Apa yang dimaksud dengan ‘untuk menabrak segala batasan itu’ itu? Orang hidup selalu berada dalam kotak-kotak atau dikotak-kotakkan. Orang selalu berada dalam baju primordialnya: entah itu agama, suku, bahasa, ras, aliran, profesi, kelas, dan lain-lain. Orang bisa mati dan bunuh-bunuhan karena kotak-kotak itu. Fungsi humor dengan demikian adalah pelebur sekaligus jembatan kotak-kotak tersebut.

Humor dan Kaum Sufi

Menjadikan humor sebagai jembatan dialog dan sekaligus kritik pada kehidupan sosial keagamaan bukanlah khas Gus Dur. Kaum sufi, seperti dikatakan Idris Shah dalam Jalan Sufi (1984[1968]), biasa menggunakan senda-gurau, humor, sebagai sarana pembelajarannya, selain cerita-cerita, fabel-fabel dan legenda-legenda hikmah. 

Idris Shah bersama Richard Williams mengumpulkan sebaran cerita tentang seorang tokoh sufi yang menggunakan banyak kisah humor sebagai sindiran terhadap kehidupan sosial-keagamaan dalam buku yang sudah diterjemahkan Humor Sufi (1994). Tokoh komikal itu, Anda semua pasti tahu, adalah Nasruddin Hoja. 

Barangkali perlu saya kutipkan di sini suatu cerita yang berjudul “Nasruddin dan Menantu Tuhan”, yang terhimpun dalam Humor Sufi II (1987), yang dikoleksi dan diterjemahkan oleh penyair Sapardi Djoko Damono: 

Pada suatu hari seorang hafiz datang ke kota Akshehir dan menanyakan rumah Nasruddin. Setelah mendapat informasi, seusai salat Isya, hafiz itu pergi ke rumah Nasruddin. Ketika terdengar ketukan di pintu, Nasruddin melongok dari jendela dan bertanya. “Siapa itu?” 

“Saya,” jawab si hafiz. “Saya siapa?” tanya Nasruddin lagi. “Saya ini menantu Tuhan, bolehkah saya menginap di rumahmu?” jelas hafiz kembali. “Tunggu,” jawab Nasruddin.

Nasruddin kemudian mengenakan jubah dan keluar menuju masjid. Hafiz mengikutinya dari belakang. Sesampai di masjid, Nasruddin membuka pintu masjid dan berkata: “Silakan masuk saudara, ini rumah mertua Anda.”

Humor bukan semata humor, di dalamnya tersirat hikmah. Cerita di atas adalah suatu kritik halus terhadap klaim orang yang dekat Tuhan atau mengatasnamakan Tuhan. Padahal itu tak lebih dan tak lain suatu usaha menutupi atau mungkin memuluskan kepentingan pribadi. 

Demikian pula dengan dua cerita pendeta di atas, Gus Dur sebenarnya berkisah tentang dua jenis ekspresi keagamaan: yang mementingkan formalitas (kulit luar), dan yang mementingkan substansi (isi). 

Mungkin tak aneh juga kalau dalam wawancara di atas, Gus Dur mengatakan bahwa “humoris paling besar itu justru kaum sufi.” Karena kaum sufi tahu kelakuan manusia yang aneh-aneh. 

Padahal manusia tidak ada, yang ada adalah makhluk yang tidak tahu kebesaran Tuhan. Kalau mereka tahu, mereka pasti akan diam saja dan tidak macam-macam. Nah, kaum sufi, kata Gus Dur, menertawakan sikap dan kecenderungan sok tahu manusia. “Humor adalah ekspresi kewarasan yang paling tinggi,” kata Gus Dur. 

Dalam pengantar Mati Ketawa Ala Rusia, Gus Dur mengatakan, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat. Sebuah masyarakat yang masih memiliki rasa humor adalah sebuah masyarakat yang sehat. 

Rasa humor yang tinggi menunjukkan daya tahan yang tinggi di hadapan kepahitan dan kesengsaraan hidup. Kemampuan untuk menertawakan diri merupakan petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain.

Kemampuan menertawakan diri sendiri amatlah penting, karena bagi Gus Dur, orang harus mengenal diri sendiri, termasuk hal-hal yang aneh atau kurang dalam diri sendiri itu. Dari kemampuan mengenal kekurangan diri sendiri, akan muncul pengertian pada orang lain.

“Pengertian pada orang lain,” itu yang kita defisit sekarang ini. Dan itu di antaranya karena kita tak lagi suka dan emoh dengan humor.

(Artikel ini pertama kali dimuat di beritagar.id)

Penulis dan peneliti. Direktur Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.