Social Media

Kebencian

Di pojok dunia yang terkenal damai, bahkan pernah didapuk menjadi salah satu negeri Islami, mendadak seseorang bersenjata menghamburkan peluru membantai puluhan orang di sebuah masjid saat ibadah salat Jumat.

Akibatnya, 49 muslim meregang nyawa di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, menambah jumlah korban jiwa berbagai aksi terorisme lone-wolf dari seluruh dunia. Aksi para serigala penyendiri diumbar dalam berbagai metode: bom bunuh diri, penembakan bersenjata, penyerangan pisau, sampai menabrakkan mobil ke kerumunan warga tak berdosa.

Brenton Tarrant memamerkan aksi biadabnya dengan sengaja melakukan streaming ke seluruh dunia melalui kamera yang dipasang di kepalanya. Tarrant melakukan streaming selama 17 menit di Facebook sepanjang aksi kejinya di Masjid Al-Noor, dengan siaran ulangan di Youtube. Baik Facebook, Youtube, maupun platform internet lain telah menghapus tayangan ini dan menyerukan kepada para netizen agar tidak menyebarluaskan video itu.

Ia bukan yang pertama menyiarkan kekejamannya melalui internet dan media sosial. Tahun lalu, melalui platform Whatsapp, kelompok cow vigilante Hindu (pemburu penjual/konsumen daging sapi) di India menyebarkan video pengeroyokan yang berujung kematian Alimudin Ansari yang nekat menjual daging sapi walaupun hukum melarangnya.

Tujuan penyiaran dalam kedua kejadian itu relatif sama: melakukan teror kepada publik yang lebih luas. Dalam kasus cow vigilante di India, targetnya adalah menakut-nakuti warga non-Hindu agar tidak berani melanggar aturan yang menjaga kesucian ajaran Hindu.

Dalam kasus Christchurch, targetnya adalah menakut-nakuti warga muslim akan pembalasan dari aksi terorisme atas nama Islam di tempat-tempat lain. Perkembangan dunia digital telah melipatgandakan daya jangkau instrumen propaganda.

Baik kedua kasus ini maupun berbagai aksi terorisme lainnya menunjukkan bahan baku utama aksi teror adalah kebencian tak berbatas kepada kelompok masyarakat lain yang dianggap akan merusak atau menghancurkan kelompok masyarakat, yang mana si teroris mengidentifikasikan dirinya.

Robert Bowers, penyerang bersenjata yang menewaskan 11 orang dan melukai 7 orang lainnya di sebuah sinagog di Pittsburgh (Amerika Serikat) tahun 2018, menyebut bahwa kaum Yahudi telah membawa masuk imigran yang menjadi kriminal dan membunuhi warga kulit putih.

Ia pernah menuliskan pesan di media ultrakonservatif Gab: makna istilah keberagaman sejatinya adalah menghabisi orang kulit putih dan ia bersumpah tidak akan membiarkan warga kulit putih menjadi korban keberagaman.

Keluarga Dita, pelaku aksi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya tahun lalu juga berkeyakinan serupa: kelompok Nasrani akan menghancurkan Islam dan masyarakat muslim di Indonesia. Dita dan istrinya pun memilih melakukan teror kepada kelompok yang dibencinya. Tragisnya, mereka membawa anak-anak yang belum mampu mengambil pilihan secara sadar.

Kelompok ekstremis Buddha di Myanmar, Thailand, dan Sri Lanka memiliki propaganda yang sama, yaitu bahwa kelompok muslim akan melakukan islamisasi di bumi mereka dan menghancurkan masyarakat dan agama Buddha yang telah lebih dahulu ada.

Teori konspirasi bertebaran untuk menyokong narasi itu. Di antaranya di Sri Lanka tentang bagaimana kelompok muslim telah membubuhkan kontrasepsi di kain dan pakaian yang dijual, membuat mandul pemakainya, sehingga kaum Buddha menyusut jumlahnya.

Di Myanmar, kelompok ekstrem Buddha menyebut Nusantara yang dulu didominasi kaum Buddha sekarang dikuasai kaum muslim, dan karenanya kaum Buddha perlu menjaga tanah airnya. Terdapat juga kampanye untuk menghindari berdagang dengan kaum muslim sebab hasil penjualannya akan dipakai untuk membangun pusat islamisasi yang berakibat masyarakat Buddha akan menjadi minoritas.

Sentimen serupa diembuskan di Indonesia dalam dua versi. Di daerah Indonesia barat, kaum muslim dicekoki ide untuk awas dan tidak berbelanja di tempat orang kristiani sebab labanya akan dipakai untuk melakukan kristenisasi. Di ujung timur Indonesia, kaum kristiani dijejali dengan konspirasi kaum muslim akan melakukan islamisasi di bumi mereka.

Dan hari Jumat lalu di Selandia Baru, Tarrant memublikasikan manifesto yang disebutnya ”The Great Replacement”, yang mana ia menyebutkan bahwa imigrasi besar-besaran adalah genosida kulit putih. Ia bertekad beraksi melawan kaum muslim untuk ”menjamin eksistensi orang-orang kita dan masa depan anak-anak kulit putih”.

Dapat kita lihat bahwa sentimen ketakutan dan kebencian yang beredar di berbagai kelompok ekstremis ini adalah sentimen yang sama, hanya berbeda identitas kelompok pelaku dan korban.

Orang Buddha, kaum White Supremacist, orang Islam, orang Hindu, orang Kristen dapat menjadi pelaku ataupun korban. Ideologi mereka adalah ideologi kebencian, bukan agama ataupun identitas lainnya.

Dimulai berbagai propaganda kebencian inilah, kelompok-kelompok ekstrem berproses untuk mengabaikan sisi kemanusiaan mereka dan kelompok target kebiadabannya.

Di sinilah berbahayanya pesan kebencian kepada golongan orang yang berbeda, seberapa pun naif tampaknya. Semakin sering pesan ini muncul, semakin kuat ia tertanam dan memengaruhi tindakan seseorang.

Ujaran kebencian bukanlah salah satu bentuk kebebasan berpendapat karena ia bisa menjadi bahan bakar kejahatan kemanusiaan. Sudah saatnya kita bekerja lebih keras untuk menolak ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan agar tak lagi ada orang-orang seperti Bowers, Dita, atau Tarrant.

Cukup Pittsburg. Cukup Surabaya. Cukup Christchurch. Jangan diam!

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 17 Maret 2019

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.