Social Media

Greg Barton, Gus Dur, dan Cita-cita Universalisme Islam

Gus Dur merupakan tokoh pemikir Islam Indonesia. Sejak kecil Gus Dur memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan. Bentuk kecintaannya terhadap ilmu tersebut bisa dilihat melalui berbagai buku yang telah dibaca, mulai dari buku Barat hingga buku Timur. Kegemarannya membaca buku kemudian membentuk pemikiran Gus Dur.

Untuk memahami pemikiran Gus Dur tidak mudah untuk dilakukan. Sebab, Gus Dur tidak memiliki satu karya utuh yang membahas tentang keislaman, sehingga hal tersebut membuat sulit bagi para pembaca untuk melihat bagaimana pemikiran Gus Dur. Menurut Greg Barton (1999), pemikiran Gus Dur bisa disejajarkan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur) pembaharuan teologi.

Greg Barton melihat bahwa Gus Dur merupakan sosok pemikir neo-modernis yang sejajar dengan Nurcholis Madjid. Kategorisasi yang diberikan oleh Greg Barton ini dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam asal Pakistan. Greg Barton berargumen bahwa kedua ulama ini memiliki ketertarikan pada gerakan pembaruan pemikiran umat Islam Indonesia yang berbeda dengan gerakan revivalis maupun modernis.

Pemikiran neo-modernis yang dicanangkan oleh Greg Barton dicirikan dengan adanya cita-cita liberasi pemikiran Islam dalam kaitannya dengan usaha menjawab tantangan masyarakat modern. Tantangan modernitas ini yang kemudian ingin dijawab oleh Gus Dur. Gus Dur menginginkan agar masyarakat Islam Indonesia mau menerima segala konsekuensi di era modern.

Sebagai pemikir yang besar di era modern, wacana liberasi pemikiran Islam Gus Dur bisa dilhat dari dua sisi. Pertama, sebagaimana yang disampaikan oleh Barton bahwa Gus Dur ingin membangun masyarakat Islam dengan tidak menolak adanya modernitas. Gus Dur berpandangan bahwa dunia modern memiliki sisi positif yang diperlukan untuk kemajuan umat Islam, sehingga hal tersebut sudah seharusnya dimanfaatkan oleh umat Islam supaya bisa berkembang lebih baik lagi.

Pembaruan pemikiran menurut Gus Dur sudah seharusnya dilakukan oleh umat Islam, terutama di kalangan NU. Pada saat itu, NU masih terjebak dalam ortodoksi aswaja sehingga sulit untuk beradaptasi dengan zaman modern. Gus Dur melihat bahwa NU sebenarnya bisa berkembang lebih baik lagi dengan cara memperbarui paradigma NU. Misalnya saja Gus Dur menginginkan agar NU tidak hanya menjadikan aswaja sebagai madzhab melainkan juga sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir). 

Keinginan untuk menjadikan aswaja sebagai manhaj al-fikr juga dikarenakan adanya rasionalisasi di era modernitas. Secara tidak langsung, buku-buku dan dunia modern yang dipahami oleh Gus Dur menuntut agar umat Islam memiliki rasionalitas tinggi di era modern. Rasionalitas ini bertujuan agar pemikiran Islam juga berkembang sesuai dengan zamannya.

Keingingan tersebut disambut baik oleh Kiai Sahal Mahfudz. Menurut Kiai Sahal, pembaruan dalam bidang fiqih diperlukan untuk memperbarui fiqih lama yang dirasa kurang cocok bagi umat Islam Indonesia. Maka dari itu, untuk membentuk fiqih baru diperlukan metode berpikir yang sesuai dengan para imam madzhab terdahulu.

Kedua, pembentukan pemikiran teologi pluralis dalam Islam. Gus Dur selama ini telah dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia. Pemberian gelar ini bukan tanpa alasan, sebab hal itu didasarkan pada perjuangan Gus Dur terhadap hak-hak keberagamaan kaum minoritas di Indonesia.

Perjuangan Gus Dur ini juga didasarkan atas nilai ajaran agama yang selama ini dipegang. Gus Dur melihat bahwa negara sudah seharusnya melindungi dan memberikan kebebasan terhadap pemeluk agama lain. Gus Dur mendasarkan pemikiran ini dengan melihat maqasid syariah. Terdapat lima maqasid syariah yang harus diperjuangkan supaya Islam diterima sebagai agama universal, pertama, perlindungan keluarga; kedua, perlindungan keyakinan; ketiga, perlindungan ekonomi; keempat, perlindungan harta; kelima perlindungan jiwa.

Penghargaan dan perlindungan terhadap keyakinan agama lain yang ditunjukkan oleh Gus Dur menjadi bukti bahwa universalitas Islam bisa diwujudkan apabila memegang prinsip-prinsip maqasid syariah tersebut. Dari situ kemudian Gus Dur dikenal luas dengan pemikirannya tentang teologi pluralis dalam Islam. Dengan pemikiran itu juga, Gus Dur bisa dikatakan berbeda dengan para pemikir teologi lain dari Timur Tengah.

Liberasi pemikiran Islam yang dilakukan oleh Gus Dur tujuannya hanya satu, yaitu mewujudkan cita-cita universalitas Islam. Tanpa adanya pembaruan pemikiran umat Islam, maka Islam akan terjebak dalam ortodoksi berpikir dan sulit untuk menerima perubahan zaman. Apabila demikian yang terjadi, maka umat Islam akan mengalami kemunduran.

Esais dan GUSDURian Jogja.