Social Media

Gus Dur dan Kebebasan Membaca Buku

Dalam buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Gus Dur bercerita, bahwa Kiai Ali Maksum membiarkan santri-santrinya membaca buku-buku karya semisal Muhammad Abduh, yang pada umumnya tak dibaca orang NU. Ketika ditanya apakah beliau tak khawatir kalau nanti santri-santrinya lepas dari NU karena membaca buku-buku tersebut, Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas: “Kalau membaca buku yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang” begitu jawaban Kiai Ali sebagaimana ditulis Gus Dur dalam esai yang berjudul “Baik Belum Tentu Bermanfaat”.

Bagi penulis, sikap Kiai Ali Maksum yang dikisahkan Gus Dur dalam esainya, tak sekedar cerita, tapi menyimpan pesan, bahwa membaca buku itu penting, walaupun itu buku bukan dari kalangan kita, atau bahkan mengkritisi pemikiran kita sendiri.

Ketakutan membaca buku yang berbeda tertolak dengan sendirinya, dengan kisah sikap Kiai Ali Maksum. Bahkan kata Kiai Ali di atas, dalam konteks orang-orang nahdiyyin, justru semakin mematangkan NU-nya.

Sikap Kiai Ali di atas tampaknya berkesesuaian pula dengan cara baca Gus Dur atas perdebatan sengit dalam bidang teologi dan hukum agama yang terjadi kisaran empat abad pertama sejarah Islam. Alih-alih itu dibaca sebagai kemelut, Gus Dur justru membaca itu sebagai keberhasilan pemikir muslim karena mampu mengembangkan watak yang kosmopolit dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka. “Mereka mampu berdialog secara sedemikian bebas” tulis Gus Dur.

Gus Dur mencontohkan kasus Mu’tazilah yang sedemikian bebas mempertanyakan perihal turunnya al-Qur’an, apakah lafaz dan makna atau hanya secara maknawi saja, sebagai pertanda kuatnya watak kosmopolitan peradaban Islam waktu itu. Kata Gus Dur, “Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas”.

Keadaan yang demikian, menurut Gus Dur sama sekali tidak membahayakan Islam. Perdebatan yang serba dialektik justru akan mengambil koreksi budayanya sendiri, sebagaimana dalam kasus Mu’tazilah ini, muncul al-Asy’ariah, al-Maturidiyyah, dan al-Baqilani.

Kata Gus Dur, koreksi budaya di atas hadir bukan sebagai hardikan dan tuntutan legal-yuridis, namun lebih kepada perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi.

Begitulah padangan Gus, yang penulis tangkap sebagai kebebasan membaca beragam buku, walaupun berbeda pemikiran, bahkan bertentangan. Jika tak setuju dengan sebuah pemikiran yang tertulis dalam buku, bukanlah dengan mengambil sikap yang menghardik seperti melakukan razia dan penyitaan buku, tapi lebih ke perdebatan ilmiah yang kosmopolit.

Membaca buku tanpa rasa takut!

Penulis adalah Sarjana Tafsir Hadis UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah.