Social Media

Pil Pahit dari Sri Lanka

Minggu ini kita dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri yang masif di berbagai tempat di Sri Lanka. Di tengah misa Paskah di tiga gereja besar, ratusan warga Nasrani Sri Lanka menjadi korban. Nyawa puluhan turis mancanegara hilang di hotel- hotel mewah. Teror bom Sri Lanka menjadi serangan paling masif sejak tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Teror ini terasa lebih menyakitkan karena sebelumnya berbagai peringatan telah diberikan, baik dari intelijen dalam negeri Sri Lanka maupun dari negara-negara lain, seperti India.

Namun, peringatan ini tidak direspons secara komprehensif oleh pemerintahan Maithripala Sirisena. Salah satu sebab kebobolan ini adalah konflik politik elite sehingga muncul tuduhan bahwa data peringatan ini sengaja disembunyikan dari pemerintah. Betapa mahal harga konflik politik itu bagi bangsa Sri Lanka.

Dari delapan pelaku bom bunuh diri, tujuh orang telah teridentifikasi. Dua di antaranya anak-anak dari seorang miliuner Sri Lanka. Muda, kaya, dan berpendidikan tinggi. Bahkan dari keluarga mereka, masih ada anggota keluarga yang lain yang terlibat. Bertentangan dengan asumsi awam bahwa terorisme utamanya disebabkan oleh dendam (ketimpangan) ekonomi.

Ini selaras dengan yang terjadi di Indonesia, baik pada keluarga pelaku bom Surabaya maupun pada beberapa keluarga kelas menengah yang memilih meninggalkan kehidupannya untuk pindah ke negara ISIS.

Istri salah seorang pelaku bom memilih meledakkan diri bersama kedua anak dan satu di kandungannya saat rumah mereka diserbu polisi Sri Lanka. Mengingatkan kita kepada ledakan bunuh diri di Sibolga beberapa waktu lalu. Ini membuktikan meningkatnya keterlibatan aktif perempuan dan keluarga dalam aksi terorisme sebagaimana tampak dalam upaya aksi teror perempuan jihadi di Mako Brimob tahun lalu.

Pelaku lain aksi teror Sri Lanka diidentifikasi sebagai seorang penceramah garis keras yang sering melontarkan agitasi ekstremisme di Youtube. Pelaku kelima ditengarai sebagai otak gerakan, dan dalam video yang dimuat ISIS di kanal AMAQ, tampak dia sedang memimpin beberapa orang lain berbaiat kepada ISIS. Kedua orang ini sering dilaporkan oleh kelompok-kelompok Islam moderat kepada pihak otoritas Sri Lanka karena ceramah-ceramahnya yang penuh kebencian dan ekstremisme agama. Sayangnya, laporan-laporan ini tidak diindahkan dan kedua penceramah tersebut tak juga ditindak, dan menjadi terlambat saat ini.

Di Indonesia, kelompok GP Ansor NU adalah salah satu yang paling depan menyuarakan tentang fenomena penceramah kebencian dan ekstremisme karena pengalaman lapangan di akar rumput menunjukkan narasi-narasi kebencian dibalut agama semakin kencang.

Tahun 2018, sebuah riset dari lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama mengungkapkan, dari 100 masjid di lingkungan lembaga terkait negara kita, telah ada puluhan yang mendakwahkan eksklusivisme beragama, bahkan ekstremisme.

Namun, riset ini justru diserang dengan berbagai tuduhan, termasuk tentang kerangka pikir, kriteria radikal, dan tentang metodologi riset. Demikian juga nada miring yang dituduhkan terhadap banyak survei tentang radikalisme, intoleransi, dan khilafah. Setidaknya, bingkai bahwa riset-riset ini mendiskreditkan kelompok umat tertentu, atau memiliki agenda fobia terhadap berkembangnya kelompok tersebut.

Demikianlah kecanggihan narasi yang dimainkan para pendakwah teror berbalut agama ini. Kekuatannya besar dalam mengindoktrinasi pengikut berbagai ideologi ekstremisme atas nama Islam. Beberapa pelaku teror Sri Lanka mengalami perubahan keyakinan tentang jihad dan eksklusivisme agama karena ceramah-ceramah yang didengarnya di perkumpulannya di kampus di Inggris dan Australia.

Dari buku yang kerap saya kutip, Pengakuan Pejuang Khilafah (The Islamist), Ed Hussain yang sempat menjadi anggota Jemaah Islamiyah dan Hizbut Tahrir di Inggris menceritakan dengan gamblang proses yang dialaminya.

Dimulai dengan membangun dignity atau martabat, pendekatan imajinatif tentang betapa mulia dan bermartabat identitasnya sebagai anggota kelompok yang menjadi jaminan akhirat nanti. Diikuti dengan casting vision, penanaman visi masyarakat yang suci murni yang diperjuangkan. Dan bagian yang paling penting adalah role to play, penanaman peran khusus dengan satu tugas penting, sebagai latihan untuk menjadi pejuang saat ia sudah menjadi kader yang bergerak di masyarakat.

Untuk proses indoktrinasi yang sedemikian terstruktur dan sistematis, dibutuhkan orator-orator yang piawai sebagai ujung tombaknya. Di Indonesia kita menemukan banyak pendakwah yang seperti ini, yang memompa sentimen identitas kelompok dengan semangat menyerang kelompok yang ditanamkan sebagai musuh. Karena itu, kosakata yang mengandung sentimen permusuhan, seperti kafir, penistaan, dan musuh agama, menjadi bukan sesuatu yang spontan, melainkan memang diamplifikasi terus-menerus.

Indonesia perlu belajar dari Sri Lanka. Aksi teror yang terjadi memiliki banyak karakteristik yang sama dengan lapangan Indonesia. Kaum Muslim sufi tradisional dan kelompok Islam moderat mereka telah mengingatkan bahaya pendakwah-pendakwah ekstrem di kanal-kanal media sosial. Pemerintah mereka tidak merespons. Hasilnya, 253 korban jiwa dan lebih dari 500 korban luka-luka. Sebuah pil yang sangat pahit.

Semoga pemerintah kita bisa memastikan ini tidak terjadi di Indonesia.


(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 28 April 2019)


Sumber: kompas.id


Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.