Social Media

Memberi Keadilan bagi Penghayat

Setelah bertahun-tahun terpenjara dalam jeruji diskriminasi kartu tanda pengenal (KTP), akhirnya para penghayat bisa bernafas lega. Gugatan mereka terkait pencantuman identitas agama di KTP dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Ini kado terindah di akhir tahun 2017.

Sayangnya, kado yang seharusnya menjadi penanda semakin dewasanya bangsa ini ternyata masih saja menyisakan duka bagi sebagian umat Islam. Beberapa organisasi dan partai Islam mengaku kecewa dengan putusan ini.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, berkali-kali menyoroti putusan ini. Beliau bahkan secara terang-terangan mengajak para penghayat kembali masuk Islam karena kemiripan ajaran. MUI yang dianggap mewakili umat Islam Indonesia bersikukuh agar KTP penghayat dibedakan dengan yang sudah ada.

Berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang mendukung putusan MK, sikap Muhammadiyah kurang lebih sama dengan MUI. Dalam sebuah kesempatan, Haedar Nashir, ketua umum organisasi ini, menyatakan keputusan MK, sekalipun bersifat final, tidak boleh menghilangkan pemikiran umat beragama (Detik.com, 8/12/17).

Kerisauan Din terkait penghayat nampaknya dijelaskan secara mudah oleh Zulkifli Hasan, Ketua MPR. Beberapa hari lalu ia menyatakan kerisauannya akan menurunnya jumlah umat Islam pascaputusan MK.

Sebenarnya berapa pastinya jumlah penghayat di Indonesia? Berdasarkan Survei Penduduk 2010, jumlah warga yang masuk dalam kategori agama “lainnya” hanya 229.617 orang–sekitar 0,13%. Namun, sangat mungkin banyak penghayat tersebar di agama lainnya. Hal ini diketahui, misalnya, dari data Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemendikbud yang menyebut ada sekitar 12 juta penghayat di Indonesia.

“Kalau melihat data 1955 dari Pak Wongsonegoro, mantan Gubernur Jateng, Mendikbud jaman itu sekitar 20 juta orang. Kalau turun jadi 12 juta sebagaimana data dari  Direktorat Kepercayaan Kemendikbud, saya pikir data itu nyrempet kebenarannya,” kata Naen Soeryono, Ketua Umum Persada Sapta Darma kepada saya. Sapta Darma sendiri pernah berurusan dengan Front Pembela Islam (FPI) tahun 2008 karena penganutnya melakukan ritual sujud ke timur padahal ber-KTP Islam.

Saya meyakini banyak penghayat yang menulis “Islam” dalam KTP-nya karena banyak faktor, sehingga Zulkifli Hasan, Dien Syamsuddin, dan keseluruhan pihak yang lebih senang beragama secara kuantitatif merasa perlu untuk gundah dan resah.

Bagi orang-orang seperti ini, kemenangan kontestasi antarkeyakinan harus ditandai oleh aspek kuantitatif; yang menang adalah yang paling banyak jumlahnya. Angka statistik merupakan segalanya.

Cara beragama yang penuh keresahan dan kekuatiran berkurangnya jumlah pemeluk ini seakan mengkonfirmasi kritik WF Wertheim yang menyebut Muslim Indonesia terjangkit sindrom “majority with minority complex”.

Sindrom ini acapkali memaksa penderitanya merasa berkewajiban mencari pengikut sebanyak mungkin, bahkan kalau perlu, dengan menabraki prinsip kemerdekaan beragama sekalipun. Dengan memanfaatkan “ajaran klasik”, mereka menerapkan beragam sanksi bagi pengikutnya yang berpindah keyakinan; dari pencoretan hak waris dan eksklusi keluarga hingga ancaman hukuman mati.

Tanpa disadari, sindrom ini juga seringkali membuat penderitanya mengalami frustasi dan melakukan tindakan yang menggelikan, seperti yang telah ditunjukkan dua tokoh di atas.

Sejak Indonesia merdeka hingga menjelang akhir 60-an, para penghayat relatif bisa hidup setara dengan yang lain. Mereka hidup tanpa stigma di masyarakat hingga genosida 65-66 meletus. Oleh kelompok Islam yang ditopang kekuatan militer, mereka dikait-kaitkan dengan komunis maupun distigma sebagai kafir! dan syirik, meskipun tidak sedikit kelompok Islam menganggap mereka adalah bagian dari tubuh Islam yang sedikit  menyimpang (Mulder 2005).

Mungkin karena ketidaksimpatikan pendekatan kelompok Islam terhadap penghayat kala itu, alih-alih masuk Islam, cukup banyak dari mereka lebih memilih Kristen. Hal ini bisa diketahui dari drastisnya lonjakan pemeluk baru Kristen yang mencapai hampir satu juta orang.

Fenomena ini semakin membuat politisi Islam berang. Tidak hanya kepada penghayat, namun juga terhadap kelompok Kristen, karena dianggap telah melakukan “Kristenisasi” (Mujiburrahman 2010).

Puncaknya, protes keras dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terhadap politik Soeharto yang cenderung mengakomodasi aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pucuk tertinggi PPP, KH Bisri Syansuri, dikabarkan walk out dari sidang DPR/MPR 1978. PPP menganggap aliran kepercayaan dapat menyebabkan syirik, sedangkan Soeharto menganggap akomodasi diperlukan karena aliran kepercayaan “merupakan warisan dan kekayaan rohaniyah rakyat” (Sitompul 2010).

NU yang cenderung bersikap keras terkait kepercayaan saat itu memaksa Soeharto menyetujui usulan kompromi Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara; mengandangkan aliran kepercayaan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketimbang Departemen Agama. Politik segregasi ini kemudian mewariskan memori keunggulan “agama formal” atas aliran kepercayaan (Dwipayana, Sjamsudin 1991)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tampak telah “merevisi” sikap masa lalunya dengan cara menahan diri tidak ikut merisak Penghayat pascaputusan MK, apalagi meminta mereka kembali ke Islam. “Harus mengakui keberadaan mereka. Tapi memang mereka bukan agama, tapi kita mengakui keberadaan mereka. Setuju dong (dengan putusan MK), mau diusir? Itu WNI, lho,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj ( 13/11).

Sikap NU yang lebih akomodatif , meski sedikit segregatif, merupakan modal penting untuk mengikis biasnya cara pandang sebagaimana ditunjukkan Dien dan Zulkifli.

Bagi saya, alih-alih meminta penghayat kembali ke pangkuan Islam atau merasa kecewa jumlah umat Islam akan berkurang, kita sebagai Muslim justru berkewajiban melindungi penghayat dari ancaman diskriminasi, termasuk diskriminasi dalam pencatatan agama di KTP. Biarlah kolom “agama” di KTP terisi dengan aliran yang menjadi identitas mereka; Sumarah, Ilmu Sejati, Kepribadhen, Sapta Darma, atau lainnya.

Sumber: Geotimes.co.id

Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD). Aktivis GUSDURian.