Social Media

Cerita Kami Bertahan Hidup sebagai Pasangan, Agar Dapur Tetap Ngebul di Tengah Pandemi

“Mas, tolong ambilkan sendok dan garpu di tempat Bu Lek Nung. Mas, bisa minta tolong buat ambilin tempat air mineral ke Toko Rizki?” pinta istriku.

Istriku adalah seorang pedagang perabotan rumah tangga. Di tengah Covid-19, kami mencoba peruntungan, mengais rezeki melalui aplikasi jual beli daring (online). Sementara saya adalah seorang pedagang kaos dan emping melinjo.

Jualan online adalah salah satu hal yang bisa kami upayakan di tengah pandemi supaya dapur di rumah tetap ngebul. Hidup di era 4.0 diuntungkan dengan ini. Kita diajak untuk tetap survive dan saling menguatkan di tengah pandemi Covid-19 dengan banyak cara, salah satunya jualan online.

Dalam jualan online, kami berbagi peran. Saya bagian pemasaran (marketing). Karena memang kekuatan saya di situ, memanfaatkan jumlah follower di media sosial. Sementara istri bagian pengemasan (packing). Sudah menjadi kebiasaan kami untuk saling membantu dan mendukung. Ketika ia sedang banyak pesanan, saya yang bagian ambil barang dan membantu pengiriman. Begitu juga sebaliknya, ketika dagangan saya laku keras, dialah yang menjadi andalan saya dalam hal pengemasan.

Sudah menjadi kebiasaan kami dalam berbagi peran. Seperti contoh sederhana dalam pekerjaan domestik, dia yang bagian mencuci, saya yang bagian menjemur pakaian. Dia yang memasak, saya yang bagian mencuci piring. Kata-kata yang biasa kami ucapkan adalah, “yuk kerjasamanya sayang”. Begitu.

Prinsip Kesalingan

Sudah empat bulan kami tinggal di kampung. Kami memutuskan untuk balik kampung pascamenikah, yang sebelumnya menjalani hidup di kota Yogyakarta—menghuni kontrakan, berdua, penuh suka duka.

Sebelum balik kampung, sudah menjadi kebiasaan kami, yaitu sowan-sowan kepada guru-guru atau para kiai. Ada salah satu guru kami yang menghadiahi buku “Qira’ah Mubadalah”. Selain banyak berpesan tentang makna pernikahan dan relasi antara suami istri, buku ini seakan-akan menjadi ‘wasiat’ beliau dalam menjalani hubungan rumah tangga.

Saya baca pelan-pelan, mulai dari pendahuluan, hingga pada bagian fleksibilitas hak dan kewajiban suami istri: relasi nafkah, dan seks. Di bagian ini, saya menemukan hal-hal penting, di antaranya bagaimana cara berelasi dengan pasangan (zawaj) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf), kesalingan (mubadalah) mendukung satu sama lain, bermitra (mu’awanah) saling mengisi kekurangan dengan kelebihan masing-masing, dan kerja sama (musyarakah) untuk mencapai segala yang baik (ma’ruf).

Poin-poin itu kami coba terapkan dalam hal mencari nafkah. Di buku Qira’ah Mubadalah (hal. 371) dijelaskan bahwa “harta yang dihasilkan mereka berdua, atau salah satunya, adalah milik bersama. Suami tidak boleh memonopoli dengan menguasai seluruh harta yang dihasilkan oleh istrinya, begitu pun istri tidak boleh memonopoli harta yang dihasilkan suaminya”.

Bagian ini perlu saya highlight, karena di sini yang sering menjadi percekcokan antar pasangan. Belum lagi jika yang pintar nyari duit adalah sang istri. Tak jarang, suami menjadi minder dan merasa tidak bisa menafkahi. Tak berdaya guna. Padahal bukan demikian jika menerapkan kesalingan, prinsip mubadalah.

Dalam prinsip mubadalah, pernyataan “harta suami adalah harta istri, sementara harta istri adalah harta istri, atau harta suami semuanya adalah hak mutlak suami” adalah salah. Harta keduanya, yang dihasilkan selama dalam pernikahan, adalah harta bersama yang dikelola bersama untuk kemaslahatan keluarga.

Oleh sebab itu, dalam Islam dianjurkan keduanya sama-sama bekerja, baik laki-laki maupun perempuan, tujuannya tiada lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Itulah poin dari ajaran Islam. Kerja, kerja, kerja. Maslahat, maslahat, maslahat. Adapun hasilnya kita pasrahkan kepada dzat yang memberikan hasil. Jikalau kita sudah bekerja sungguh-sungguh akan tetapi hasilnya jauh dari prediksi, itu sudah bukan wilayah kita.

Begitu juga dalam mencari nafkah. Jika ternyata sang istri pendapatannya melebihi sang suami, istri tidak boleh menuntut lebih. Oleh sebab itu, inilah pentingnya musyawarah dalam pernikahan. Semuanya bisa dirembug asal jangan menang-menangan atau mengdepankan ego masing-masing.

Di tengah pandemi kemarin, dalam sebuah webinar bersama penggerak di Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid mengatakan kalau kita harus menjadi orang kaya, setidaknya mempunyai cadangan harta untuk 4-5 bulan ke depan, ketika terjadi pandemi seperti sekarang, kebutuhan kita bisa terpenuhi dengan baik.

Star Seller

“Alhamdulillah mas, pendapatanku bulan ini sudah mencapai satu juta lebih. Alhamdulillah mas, sekarang akunku sudah jadi star seller,”ujar istriku dengan menyodorkan hpnya melalui aplikasi jual beli online.

Suami mana yang tidak bahagia melihatnya. Hatiku rasane maknyes. Capaian itu adalah sepenuhnya milik dia, saya tidak akan mengemis-ngemis ke dia supaya mendapatkan bagian, walaupun saya ikut andil dalam penjualannya.

Begitu sebaliknya, ketika jualan saya laku keras, dia pun tidak meminta-minta. Namun saya sebagai suami sadar diri, ada harta yang harus saya berikan kepadanya. Jika keduanya sudah saling memahami, percekcokan bisa dihindari. Prinsipnya adalah sama-sama tahu diri, kerjasama, tanggung jawab, dan komunikasi.

Jika pilar-pilar dalam prinsip mubadalah diterapkan dengan baik, insya Allah kita bisa membangun keluarga yang maslahat, tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga maslahat untuk orang lain.

Saya mengibaratkan bagaimana ketika perjuangan istriku bisa sampai level “star seller“ melalui aplikasi jual beli online. Tentu perjuangannya tidak mudah. Pernah suatu ketika dagangannya dikomplain oleh pembeli, karena rusak, lalu dikasih bintang satu. Dia sempat stres. Namun saya sarankan untuk tetap melayani pembeli yang komplain dengan baik. Kasih opsi-opsi win-win solution.

Dengan adanya kejadian itu, justru menjadi pelajaran buat dia supaya melakukan pengemasan barang dagangannya dengan baik dan sempurna, bagaimana agar tidak peyok, tidak rusak, atau malah mendapatkan retur dari pembeli.

Begitu juga dalam berumah tangga sebagaimana yang diajarkan oleh agama, saling mengerti, saling mengisi, dan saling menguatkan dalam mengemban amanah dan tugas, tidak boleh saling mendominasi, memonopoli dan menang-menangan. Karena laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama. Semuanya bisa saling bekerja. Jika pelayanan kita baik (musayaraoh bil ma’ruf), maka dikemudian hari kita akan mendapatkan berkahnya.

Kita akan mampu dan kuat menghadapi pandemi dalam berumah tangga. Sebagaimana istri saya bisa mencapai level star sellerHunna libasullakum, wa antum libasullahunn.

Sumber: islami.co

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktivis Jaringan GUSDURian Indonesia