Social Media

Kapitalisme, Ketimpangan Gender, dan Ekofeminisme

Perempuan pada abad ke-21 ini merupakan perempuan bebas, merdeka. Stereotip 3M alias: masak, macak (bersolek), dan manak (beranak); adalah olok-olok masa lampau yang tak berlaku di zaman gegap gempita modernitas seperti sekarang ini.Perempuan sudah begitu jauh melampaui dan menembus tapal batas domestik hingga di jalanan dan di media cetak maupun elektronik penuh dengan citra perempuan, sebuah citra paradoks yang sayangnya hanya terbatas pada obsesi imajinasi iklan.

Citra perempuan adalah citra kecantikan yang direpresentasikan oleh tubuh seksi, kulit putih mulus, serta rambut hitam lurus. Perempuan dalam obsesi iklan hanyalah salah satu contoh bagaimana kapitalisme menjadikan perempuan tak lebih dari sekadar objek-objek tanpa entitas ruh, akal serta imajinasi.

Kita akan menengok para perempuan heroik, nan jauh di Kabupaten Rembang, tepatnya di jalur Pegunungan Kendeng. Hampir enam bulan kaum perempuan melakukan aksi menentang proyek pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia (Tbk) yang mereka anggap akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan alam.

Aksi heroik tersebut dipimpin oleh Ibu Sukinah bersama 88 Ibu lainnya di mana tercatat 7 orang perempuan di antaranya sedang dalam kondisi hamil (Candraningrum: 2014). Mereka tetap tinggal di tenda-tenda, menyuarakan kehendaknya menolak industrialisasi di kawasan karst jalur Pegunungan Kendeng di perbatasan Kabupaten Rembang – Pati.

Mereka bersuara lantang dan berteriak agar para komprador kapitalis tidak merampas hak hidup mereka, sebab alam bagi mereka adalah sumber kehidupan setiap harinya. Pegunungan Kendeng laiknya seorang Ibu yang memberikan limpahan air kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Pati, Rembang, Blora dan sekitarnya. Kapitalisme telah merongrong perempuan. Perempuan harus bergerak melawan kapitalisme.

Perjuangan menolak proyek pabrik semen di Pegunungan Kendeng, penolakan reklamasi teluk Benoa di Pulau Bali merupakan beberapa konflik sumber daya alam yang berdampak pada kehidupan perempuan.

Namun, ada kegentingan dalam perjuangan perempuan dalam konflik sumber daya alam ini, ia harus dieksplisitkan, karena jika tidak, akan ada kecemasan bahwa perempuan hadir di dalam perjuangan bukan pada subjek otonom akan tetapi hanya sebagai simbol yang dipergunakan untuk memenuhi kepentingan yang lain. Artinya, ia tidak mengada sebagai tujuan bagi dirinya sendiri melainkan sebagai alat untuk mencapai kepentingan lainnya.

Dalam buku yang berjudul Ekofeminisme II: Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah (Jalasutra: 2013) mengungkapkan berbagai upaya industrialisasi perempuan dalam berbagai wajah mengerikan.

Perempuan di satu sisi menjadi alam yang tinggi dan luhur seperti tergambar dalam idiom ibu pertiwi, gunung, laut. Tetapi di sisi lain, perempuan berdasarkan mitos-mitos dalam masyarakat juga sering dikonotasikan negatif, yaitu dengan tanah (lahan garapan), bunga, ayam, malam dan bulan.

Narasi perempuan yang bekerja juga menyisakan ironi dalam industri-industri rumahan. Perempuan bekerja membatik di rumah (home workers), industri memanipulasi rumah yang berubah menjadi industri (secara fisik maupun non-fisik) dengan sistem POS (Putting Out System).

Relasi produksi informal memanfaatkan perempuan dan ruang domestik perempuan sebagai arena produksi batik dengan upah yang sangat rendah atas dasar efisiensi biaya. Paradigma bahwa perempuan bekerja hanyalah sebagai tambahan (daripada menganggur saja tidak produktif) mengesahkan pemberian upah rendah pada perempuan. Akibatnya, banyak kita lihat pabrik-pabrik hari ini lebih memilih mempekerjakan perempuan sebagai buruh, daripada laki-laki.

Melalui sistem POS tersebut, industri tidak perlu menyediakan tempat, peralatan kerja, fasilitas kerja dan pendukung lain seperti air, listrik, peralatan batik, dan lainnya (Hunga, 2013:189). Sistem POS juga merupakan gabungan potret penindasan serupa antara patriarki dan kapitalisme ketika industri tidak menyediakan jaminan biaya bagi pekerja seperti makan, transport, kesehatan, dan kecelakaan.

Inilah manipulasi ruang domestik yang mewujudkan cita-cita besar kapitalisme, yakni meminimalisir biaya produksi (cost production) yang berasal dari tenaga manusia untuk menghasilkan jumlah produksi sebanyak-banyaknya.

Sistem industri rumahan menghasilkan efek yang tak sesuai dengan keuntungan berupa upah tambahan, yakni kerusakan ekologi yang serius dan mengancam. Setiap tahunnya, industri batik memproduksi kadar emisi CO2 tertinggi di antara sektor UKM lainnya, yang umumnya merupakan hasil dari ketergantungan pada bahan bakar (minyak tanah) dan penggunaan listrik yang tinggi.

Sebagian besar UKM batik juga masih menggunakan lilin, pewarna kimia serta pemutih secara berlebihan yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan alam (Hunga: 2011). Skema Industri rumahan dengan pola POS membuka peluang kerusakan ekologi skala rumah tangga dan pedesaan tanpa mendapat jaminan rehabilitasi lingkungan dari Pemerintah maupun swasta.

Gerakan Ekofeminisme

Perspektif ekofeminisme mempromosikan strategi perlindungan relasi perempuan dan hak-haknya terkait alam dan lingkungan. Identitas ekologis penting untuk dibangun melalui agenda-agenda politik yang membentuk kesadaran dan perilaku perempuan terhadap lingkungan.

Ekofeminisme mengungkap ihwal hubungan manusia dengan alam yang tidak terkait gender. Perempuan Indonesia memiliki kearifan khas perempuan mengenai bagaimana mengelola sumber daya alam. Perempuan Indonesia mempunyai pengetahuan yang fundamental dan sistematis mengenai proses-proses alam serta meyakini bahwa alam harus selalu dipulihkan. Narasi restrukturalisasi ekonomi global yang mengapitalisasi perempuan dan alam harus dilawan, bukan dengan cultural based tetapi natural based.

Antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat wacana membuat kehendak akan kebenaran mengesampingkan kehendak akan kehidupan. Kehendak akan kebenaran modernitas dan globalitas mengesahkan teknologi mesin menggantikan hubungan intim manusia dengan alam.

Kita telah semakin jauh dengan paparan Rozsak (1992) dalam Candraningrum (2014) yakni,”Ecopsychology seeks to heal the more fundamental alienation between the person and the natural environment.” Manusia telah mengalienasikan dirinya dari alam. Upaya penyatuan manusia dengan alam yang biasa termanifestasikan dalam berbagai upacara adat, syukuran dan budaya tradisional lainnya menjadi bersifat takhayul, Dha’ah, dan Dharsono dalam narasi modernitas saat ini.

Pandemi Covid-19 dan Ketimpangan Gender

Dalam resesi ekonomi akibat pandemi, perempuan dan anak perempuan lebih rentan karena mereka tidak hanya akan mengalami kekerasan domestik akibat kemiskinan tetapi juga harus merawat keluarga dan anak karena penutupan sekolah dengan kebijakan study from home (belajar dari rumah). Akhirnya beban perempuan berlipat-lipat.

Namun, ada sedikit optimisme dengan berubahnya gaya bekerja di era pandemi yang sekarang menjadi new normal (normal baru). New normal ini membuat perempuan fleksibel dalam bekerja dengan menggunakan internet dan berinteraksi secara online.

Namun, dalam ruang kerja ini pun, lagi-lagi perempuan tidak lepas dari kerentanan yang lain, seperti pelecehan seksual yang sekarang sedang marak dalam teleconference (misalnya, baru-baru ini, tiba-tiba dalam sebuah webinar, salah seorang peserta menampilkan foto porno, dan kejadian-kejadian yang melecehkan tubuh dan seksualitas perempuan lainnya).

Dalam hal ini, matra gender tidak berdiri sendiri, tetapi beriringan dengan matra lain, seperti usia, komplikasi penyakit bawaan, disabilitas, lokasi geografis, jumlah anak dan orang tua yang harus dirawat, pendapatan, agama, ras, dan kelas sosial, ekonomi, politik, dan masih banyak lainnya. Multi matra tersebut membuat perempuan, anak perempuan dan minoritas seksual lebih rentan di masa pandemi ini.

Mahasiswa IAIN Salatiga, Jawa Tengah.