Social Media

Perubahan Besar Era Gus Dur

Rhenald Kasali mencatat dalam 22 bulan kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden, terdapat setidaknya sepuluh perubahan besar. Apa saja perubahan besar yang pernah dilakukan oleh Gus Dur? Berikut beberapa di antaranya.

1. Tionghoa

Jangan harap generasi baby boomers hingga millennials nonton Barongsai dan Liong sebelum tahun 2001. Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina membatasi hal-hal yang berkaitan dengan Tionghoa.

Termasuk tata cara beribadah serta perayaan pesta agama dan adat istiadatnya. Kalaupun dirayakan, ya sebatas lingkup keluarga saja. Bagi yang sudah sekolah di tahun 1990-2000 pasti pernah melihat setiap hari raya Imlek teman Tionghoa mengambil ‘cuti’ khusus.

Saat Gus Dur menjadi presiden Inpres yang membuat kalangan Tionghoa didiskriminasi itu dicabut. Inilah pertama kali hari raya Imlek berskala nasional dirayakan secara terbuka. Tidak perlu ngumpet-ngumpet lagi untuk merayakan hari raya.

Agama Konghucu kemudian ditetapkan menjadi agama resmi keenam Republik Indonesia. Banyak kelompok Tionghoa yang dulu ‘dipaksa’ memilih satu dari lima agama resmi pemerintah, bisa kembali menganut kepercayaannya.

Pada tahun 2001 Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kebijakan ini diteruskan oleh Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari nasional baru melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.

2. Papua

Alkisah, dua bulan setelah dilantik jadi presiden, Gus Dur ingin mengunjungi ‘Irian Jaya’. Ia mengatakan ingin ‘melihat matahari terbit’ pertama di milenium kedua di pulau paling timur Indonesia ini. Selain itu, Gus Dur ingin berdialog dengan warga ‘Irian Jaya’.

Pada tanggal 30 Desember, Gus Dur bertemu dengan elemen masyarakat di kantor Gubernur. Gus Dur mempersilakan masyarakat untuk berbicara. Ada banyak curhatan dan tuntutan, mulai dari ketidakpercayaan mereka pada pemerintah Indonesia, hingga permintaan untuk merdeka.

Salah satu poin yang diminta adalah mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur pun mengabulkan permintaan itu. Dengan humor Gus Dur menyampaikan alasannya. “Pertama, nama Irian itu jelek. Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang.

Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini, menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian.” Ucapan Gus Dur ini belum bisa dikonfirmasi oleh ahli bahasa Melanesia. Tapi bukankah belum pernah ketemu juga bukan berarti tidak ada kan? Hehehe

Lanjut Gus Dur, ia mengatakan, “Kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau memiliki anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet, tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”

Kata peneliti Gus Dur dan Papua, Ahmad Suaedy, menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba ‘menenangkan’ hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes. (Sumber: NU Online)

Selain mengembalikan nama Papua, Gus Dur juga memperbolehkan pengibaran bendera Kejora dan menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua” yang sangat dilarang di era Orde Baru. Pengibaran bendera dan menyanyikan lagu tersebut, bagi Gus Dur adalah bagian dari ekspresi identitas kultural.

Diceritakan oleh AS Hikam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto pernah melapor Gus Dur soal pengibaran bendera Kejora. Gus Dur bertanya, “Apakah ada merah putihnya?” Wiranto menjawab bahwa ada satu bendera Merah Putih yang berkibar di sebuah tiang tinggi.

“Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.” Mendengar respon itu, Wiranto mengingatkan bahwa pengibaran bendera Bintang Kejora berbahaya. Namun Gus Dur justru kembali menegur Wiranto dan mengatakan bahwa pikiran itu yang harus diubah.

“Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya!” kata Gus Dur. Gus Dur merespons persoalan yang membuat banyak nyawa melayang dengan cara yang sederhana.

3. Kembalikan Tentara ke Barak

Di era Orde Baru, hampir semua jabatan sipil dikuasai oleh tentara aktif. Mereka tergabung dalam sebuah wadah bernama Golongan Karya. Gus Dur melakukan perubahan dengan melarang tentara aktif berpolitik dan menduduki jabatan sipil.

Hal ini demi menjamin netralitas para prajurit bangsa dan agar berfokus untuk melindungi negara dari ancaman yang lebih besar, alih-alih ikut bertarung dalam perhelatan politik. Gus Dur juga memisahkan TNI dan Polri agar bisa berjalan sebagaimana fungsi masing-masing.

Lembaga kepolisian mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil, sedangkan tugas dan fungsi TNI berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara secara militer. Dulu, keduanya bercampur aduk.

Gus Dur juga menggilir jabatan panglima TNI yang dulunya hanya dijabat oleh Angkatan Darat, menjadi jabatan yang bisa diemban oleh Angkatan Laut dan Udara. Panglima kita saat ini, Marsekal Hadi Tjahjanto memiliki latar belakang dari Angkatan Udara.

Selain ketiga hal di atas, Gus Dur terlibat dalam berdirinya KPK, Kementerian Kelautan, Kementerian HAM dan lain sebagainya. Gus Dur tidak menginginkan negara berjalan secara totaliter. Harus ada keseimbangan. Harus ada pengawasan. Rakyat bukanlah objek, tapi subjek yang berdaulat.

GUSDURian. Aktif menulis di berbagai media daring.