Social Media

Gerakan Masyarakat Sipil: Asa di Tengah Pandemi Covid-19

Secara umum, pemerintah Indonesia saat ini bergerak dan terus bekerja keras menanggulangi pandemi Covid-19. Namun, dalam menjalankan tugas ini memang harus diakui bahwa pemerintah masih belum benar-benar sukses meski sebenarnya Indonesia tidak sendirian karena banyak juga negara-negara lain yang belum sukses. Angka kematian orang Indonesia akibat virus ini tertinggi di wilayah ASEAN. Angka orang yang sudah dites Covid-19 juga tidak banyak.

Ada beberapa alasan mengapa hingga saat ini pemerintah Indonesia masih belum menunjukkan prestasi yang baik dalam menangani pandemi Covid-19. Pertama, kelambanan menanggapi peringatan dini institusi ilmiah seperti WHO dan Universitas Harvard yang sudah disampaikan sejak bulan Februari. Kedua, peremehan terhadap pandemi Covid-19, dengan menyatakan orang Indonesia imunitasnya hebat.

Ketiga, penanganan pandemi Covid-19 yang masih belum lepas dari kecenderungan antisains, data yang kurang transparan (di awal-awal kasus), nalar birokratis yang berbelit-belit, hingga maraknya korupsi dan kolusi. Keempat, koordinasi antarlembaga pemerintah masih kurang baik. Kelima, ngotot menyelamatkan ekonomi (investasi dan pembangunan infrastruktur), serta beberapa daftar panjang lain yang akan sangat panjang jika disampaikan semuanya.

Dalam kondisi yang seperti ini, tentu berat untuk menatap masa depan Indonesia. Jika ini terus begini, maka penularan akan terus berjalan dan kerugian sosial-ekonomi akan kian membesar. Melihat kondisi ini, maka ketidakpastian akan berakhirnya pandemi Covid-19 akan terus menerus menghantui.

Namun, beruntung bangsa ini adalah bangsa yang besar. Bangsa ini sudah berkali-kali menghadapi bencana, seperti kolonialisme, tragedi 1965, tsunami, gempa, konflik SARA berskala besar, hingga tragedi 1998, tetapi berkali-kali juga bangsa ini menunjukkan diri berhasil melewati bencana-bencana itu.

Betapa pun pemerintah belum bisa bekerja maksimal dan mendapatkan penilaian buruk dari banyak pihak, masyarakat sipil Indonesia merupakan masyarakat madani yang baik. Di tengah keteteran pemerintah menghadapi pandemi Covid-19, masyarakat Indonesia tergerak serentak untuk bergotong royong menanggulangi pandemi ini. Inilah asa kita.

Sambil lalu tetap melancarkan kritik dan masukan pada pemerintah atas kinerjanya, masyarakat Indonesia senantiasa membantu pemerintah menangani pandemi Covid-19 serta dampaknya melalui gerakan sipil. Kalangan agamawan yang selama ini dianggap kaku, ternyata berhasil melakukan tindakan-tindakan yang di luar dugaan ketika pandemi Covid-19 melanda. Hampir serentak, kalangan agamawan melakukan gerakan sipil untuk mengatasi problem ini.

Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB, kalangan agamawan sudah bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan fatwa peniadaan segala macam peribadatan yang mengumpulkan orang banyak, seperti salat Jumat dan salat berjamaah. Betapa pun di awal-awal masih ada beberapa kalangan agamawan yang menyoal itu, tetapi kebanyakan kalangan agamawan segera memberikan bantahan atas penyoalan itu.

Ketika pemerintah masih memikirkan tentang kebijakan bantuan sosial terhadap mereka yang terdampak pandemi ini, masyarakat sipil Indonesia sudah lebih dulu bergerak menggalang dan menyalurkan bantuan sosial. Tanpa dihantui nalar birokratis yang berbelit belit, masyarakat sipil melalui berbagai media seperti masjid, lembaga-lembaga zakat, kitabisa.com, OVO, Tokopedia, donasi.dompetdhuafa.org, solusipeduli.org, televisi-televisi, hingga para artis, secara serentak melakukan penggalangan dan penyaluran bantuan sosial kepada mereka yang terdampak pandemi ini.

Gerakan masyarakat sipil semacam ini terbukti sangat bermanfaat bagi mereka yang terdampak. Berdasarkan tuturan dari beberapa mahasiswa saya yang tidak bisa pulang kampung, mereka saat ini lebih terbantu oleh bantuan sosial yang berasal dari penggalangan dana yang dilakukan para dosen daripada bantuan sosial dari pemerintah, karena kebanyakan mereka belum mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Berdasarkan tuturan dari tetangga saya yang pengemudi ojek online, ia beserta teman-temannya sesama pengemudi ojek online, lebih banyak menerima bantuan sosial dari gerakan sipil daripada bantuan pemerintah.

Berikutnya, ketika pemerintah kewalahan atas keterbatasan alat-alat kesehatan, rumah sakit, dan obat-obatan, masyarakat sipil Indonesia juga tidak tinggal diam. Kalangan agamawan seperti Muhammadiyah mendermakan 65 rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk menjadi rumah sakit rujukan penanganan Covid-19. MUI juga memfatwakan agar dana zakat juga dimanfaatkan untuk kepentingan penanganan Covid-19. GUSDURian Peduli melalui gerakan #SalingJaga telah mendistribusikan 24.000 paket sembako bersih sehat yang disalurkan ke lebih dari 100.000 jiwa di seluruh Indonesia dan 1.000 paket sembako untuk TKI di Malaysia.

Kalangan kampus seperti Institute Teknologi Sepuluh November memproduksi robot ventilator murah untuk membantu penanganan Covid-19. Universitas Indonesia juga tergerak mengembangkan dua prototipe disinfektan sinar ultraviolet untuk membantu memutus mata rantai Covid-19.

Kalangan sipil juga tergerak memberikan informasi-informasi atau konsultasi gratis dan berhasil menjangkau jutaan orang, tentang Covid-19 melalui media-media online, seperti halodokter.com, halodoc.com, dll. Selain itu, beberapa kali juga dikabarkan bahwa ada beberapa masyarakat Indonesia bahkan anak kecil yang merelakan tabungannya disumbangkan untuk pengadaan alat perlindung diri bagi para dokter dan perawat.

Realitas ini menunjukkan bahwa betapa pun dalam beberapa hal pemerintah belum maksimal menangani pandemi Covid-19, gerakan masyarakat sipil Indonesia masih ada, masif, dan dapat diharapkan. Bahkan berdasarkan catatan Legatum Prosperity Index tahun 2019, masyarakat Indonesia tercatat sebagai negara dengan partisipasi sipil dan sosial tertinggi di dunia. Jadi, tak perlu pesimis menghadapi pandemi Covid-19 ini. Asa itu masih ada dan itu bernama gerakan masyarakat sipil.

Sumber: alif.id

Pengajar di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.