Social Media

Memahami Logika Pelanggar PSBB yang Tidak Sepenuhnya “Salah-Salah” Amat

Apakah Anda merasa sebal dengan senarai fenomena belakangan ini? Merasa rebahan Anda tak berguna lalu meramaikan jagat Twitter dengan tagar #IndonesiaTerserah ? Kenapa sih orang-orang itu melanggar PSBB?

Lihat saja orang-orang yang merayakan perpisahan di McD Sarinah, antrean di Bandara Soekarno Hatta, sampai ramainya pasar Tanah Abang dan pasar Anyar Bogor. Belum lagi tersiar kabar kalau di banyak daerah yang menerapkan PSBB, jalanan juga sudah kembali macet. Sudah terlihat seperti kehidupan sebelum PSBB.

Saya mengutip dari pernyataan Dougal Sutherland, seorang psikolog klinis dari University of Wellington untuk mengira-ngira alasan kenapa pelanggaran PSBB terjadi. Kenapa masih mengira-ngira? Karena para ilmuan juga masih proses meneliti, memang teori konspirasi, yang ngandalin asal cepet dan sensasional, eh.

Menurutnya orang-orang akan menaati peraturan kalau ada sebuah imbalan yang akan diterima. Contoh yang mudah ditemui, dulu saat kita masih kecil, sering kita diiming-imingi hadiah kalau bisa juara kelas, akhirnya kita menertibkan diri dan mau mengikuti aturan untuk belajar saban malam. Dalam belajar memulai salat, kita juga diiming-imingi dengan pahala yang amat besar tatkala sukses tertib salat lima waktu. Akhirnya kita sungguh-sungguh berlatih tertib salat lima waktu.

Lalu apa imbalan untuk mereka yang mau tertib PSBB? Ya tentu terhindar dari penyakit Covid-19. Namun imbalan yang berjenis seperti ini, menurut Dougal, membuat aturan dipatuhi dalam kurun waktu yang tidak lama. Hal ini karena jenis imbalan yang diterima beda dengan imbalan saat juara kelas.

Kalau imbalannya berupa sesuatu yang semula kita tidak punya jadi punya, aturan cenderung tertib dalam waktu yang lama. Sementara kondisi terhindar dari Covid-19 tidak mengubah apa pun, karena sebelumnya kita telah dalam kondisi sehat. Itulah yang menyebabkan aturan tidak awet kalau tidak dijaga dengan ketat.

Hal ini senada dengan apa yang kita alami saat ini, di sana sini banyak terlihat aturan PSBB yang mulai bocor. Menurut penuturan beberapa teman saya yang tinggal di area PSBB, pada mulanya pembatasan ini berjalan tertib, orang-orang tidak ke mana-mana, paling sesekali keluar untuk membeli sembako. Di setiap pos juga banyak dilakukan pengecekan dan itu sifatnya ketat, mulai dari pengecekan surat jalan dan juga kondisi kesehatan. Ada pula pembubaran kerumunan oleh petugas yang berjaga. Namun lambat laun kondisi mulai berubah.

Beberapa indikasi tentang kenapa mulai banyak orang yang mengabaikan PSBB adalah kebutuhan yang mendesak untuk mempertahankan kehidupan, tidak jelas dan berubah-ubahnya sikap pemerintah sampai virus Corona yang tidak dianggap nyata ada di sekitar kita, akhirnya perilaku meremehkan yang muncul. Untuk alasan yang terakhir, hal ini disebabkan oleh tidak konkretnya penjelasan pemerintah tentang imbalan ketika tertib PSBB serta kurang bahkan gagalnya mengarusutamakan diskursus tentang virus di tengah masyarakat dengan pendekatan sains.

Padahal, kalau strategi pendekatan sains diterapkan, seperti mainstreaming penjelasan tentang pentingnya cuci tangan, memakai masker, jaga jarak, tidak mudik dan cara virus bereplikasi, saya kira masyarakat bisa waspada dengan keadaan.

Informasi tentang virus Corona itu selalu berkembang, sehingga pemerintah seharusnya selalu punya amunisi baru untuk menjelaskan pada masyarakat tentang pentingnya hidup bersih.

Ironisnya, yang kita terima bukanlah penjelasan yang masif tentang seluk beluk virus. Malahan berita yang masif beredar itu seputar pelonggaran/pengurangan PSBB, penyelamatan pertumbuhan ekonomi dengan membiarkan yang muda bekerja, sampai pengesahan UU Minerba.

Penjelasan-penjelasan seputar pentingnya hidup bersih hanya ramai di minggu-minggu awal masa karantina mandiri. Tidak diperbarui dan diarusutamakan, sehingga saat ini urusan mencuci tangan, jaga jarak, etika bersin dan urgensi pengunaan masker tidak selalu ada di kepala masyarakat.

Masih untung jika sekarang cukup banyak masyarakat yang menggunakan masker, meskipun alasannya juga beragam, bukan hanya karena alasan kesehatan, tetapi biar lolos dari petugas keamanan saja. Padahal kalau penjelasan pentingnya mengunakan masker ini masif, masyarakat akan paham urgensi masker dan akan tetap menggunakannya meskipun pandemi berakhir.

Alih-alih pemerintah masif mengampanyekan pentingnya menjaga kesehatan dengan pendekatan sains, yang terjadi malah asyik bikin lagu soal jangan mudik. Iya kalau enak, lha lagu ini tidak enak aja belum, eh.

Selanjutnya, selain karena imbalan, orang mau menaati aturan itu karena pengaruh sekitarnya. Dan begitu juga sebaliknya, orang akan dangan mudah melanggar aturan kalau melihat yang lain melanggar.

Hal ini bukan hanya karena satu orang melihat yang lain melanggar, tetapi diafirmasi juga dengan banyaknya pejabat publik yang mengeluarkan statemen kontra aturan dan terkesan meremehkan. Sangat mungkin masyarakat menyepelekan karena melihat pemerintahnya yang sedari awal juga menyepelekan.

Mulai dari ungkapan “enjoy aja!” sampai menyangkal peneliti Harvard tentang keberadaan Corona di Indonesia oleh menteri kesehatan. Lalu kebijakan aneh soal genjotan investasi untuk pariwisata dan influencer agar ekonomi tetap tumbuh selama Corona. Sampai qunut dan susu kuda liar penangkal Corona.

Coba bedakan dengan negara-negara lain. Saya tidak akan menulis kesuksesan Jerman, karena pasti sudah ada yang nyinyir karena katanya kejauhan bandinginnya. Indonesia negara berkembang, Jerman negara maju, katanya. Karena itu saya memilih membandingkan dengan sigapnya Vietnam dan Hong Kong.

Sejak awal Februari, ketika kasus belum terkonfirmasi di negara-negara itu, pemerintahnya sudah siap sedia dengan beragam strategi, segala resiko, dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Mereka merencanakan lockdown, isolasi pasien, pembersihan rumah pasien, dan pelacakan perjalanan warga.

Vietnam dan Hong Kong telah siap-siap dengan segala resiko Corona saat pemerintah kita masih berkelakar bahwa Corona takkan masuk Indonesia karena perizinannya sulit.

Ada yang bilang kalau kita tak bisa menerapkan lockdown atau karantina wilayah secara total karena budayanya beda, akhirnya memilih PSBB. Oke kalau itu maumu! Tapi jangan lupa, kita punya budaya gotong royong. Kenapa kita tidak kooperatif saja. Pemerintah melakukan pengetesan masal, memberi suplai segala kebutuhan tenaga medis, pengarusutamaan informasi virus dan hidup bersih, tidak berbicara dan bertindak yang tidak-tidak, menindak dengan tegas dan istiqomah para pelanggar PSBB dan memperhatikan serta membantu para masyarakat rentan serta korban PHK. Lalu tenaga medis berjaga di rumah sakit dan kita semua tinggal di rumah. Gimana?

Sumber: islami.co

Esais. Penggerak Komunitas GUSDURian Jogja.