Social Media

Tafakkur Sang Buddha

A man asked Buddha, “I want happiness”. Buddha said, first remove “I”, that’s ego. Then remove “want”, that’s desire. See now, you are left with only “happiness”.

Syahdan, seorang anak raja yang diberkati dengan hati yang lembut tinggal dalam lingkungan istana. Saking lembutnya hati sang anak, dia bahkan tidak tega menyaksikan seekor anak ayam disembelih. Oleh ayahnya, dia tidak boleh dibawa kemana-mana. Salah satu larangan yang dia miliki adalah tidak boleh keluar istananya tersebut. Ayahnya juga menyadari bahwa dunia di luar istana kehidupan amat sadis, ganas nan keras. Anak tersebut harus dikurung di istana agar tak menyaksikan itu semua. Meski dalam benaknya dia memiliki ribuan pertanyaan tentang dunia di luar tembok istana. 

Anak tersebut memiliki ajudan atau pembantu yang sesekali dia dapat mencuri-curi waktu untuk keluar istananya. Walhasil, suatu hari dia berhasil keluar dan menemukan realitas yang berbeda—realitas yang tak pernah terpikirkan dalam kepalanya—realitas yang tak pernah dia saksikan dengan mata dan kepalanya sendiri. Dalam perjalanannya keluar istana, anak tersebut bertemu dengan empat momen yang membuat hatinya tergetar, yakni bertemu orang tua, bertemu orang sakit, bertemu orang mati, dan bertemu pertapa (seseorang yang bebas dari keduniaan). Keempat pengalaman tersebut dialami ketika berusia sekitar 19 tahun. 

Pada saat melihat orang tua, “Kok ada orang seperti itu, jalannya gemetaran, pake tongkat. Itu manusia betulan toh? Kok jadi seperti itu?”, tanya sang anak kepada ajudannya. “Ya, karena sudah tua”, jawab sang ajudan. “Apakah semua orang akan jadi tua?”. “Ya, tentu”. Sang anak kemudian berpikir. Sedahsyat apapun dirinya, secantik atau setampan apapun dirinya, pasti akan mengalami menjadi tua dan menjadi jelek serta tidak memiliki kekuatan seperti di waktu muda. Lalu dia menyadari bahwa alangkah sangat tidak mengenakkannya hidup ini. Sebentar saja sudah tua seperti itu. 

Belum selesai memikirkan dirinya yang kelak menjadi tua juga, ia kemudian melanjutkan perjalanan dan melihat orang sakit yang sakit parah hingga dia jatuh di atas kotorannya sendiri. Dia kemudian menjadi gelisah lagi, “kok itu sakit ya? Berarti kita bisa sakit?”. “Ya, setiap orang sangat mungkin merasakan sakit. Apalagi yang sudah tua”. Terakhir, dia melihat orang mati, dia pun terkaget luar biasa. Dia tak pernah sekalipun menyaksikan orang mati. Dia kemudian kembali berpikir. Kejadian-kejadian tersebut sangat luar biasa baginya. Dia lalu mengambil kesimpulan bahwa ternyata ada tiga hal yang pasti yang selama ini dia tidak ketahui—bahwa esok pasti tua, bahwa esok akan sakit dan bahwa esok pasti akan mati.

Terakhir, dia melihat seorang pertapa yang begitu tenang. Pertapa tersebut nampak begitu tentram sekali. Apa dia tidak mengerti bahwa besok akan mati, apa tidak sumpek kalau dia bisa sakit, apa dia besok tidak takut kalau sudah tua dan tidak bisa melakukan apapun. Namun, pertapa tersebut bisa senyum, tidak sumpek, di sekitarnya ada apapun—dia tidak bergeming. Inspirasi dari pertapa tersebut membuat anak tersebut berpikir bahwa istana tidak ada istimewanya sama sekali—tidak menarik sama sekali.   

Belakangan anak tersebut tumbuh dewasa, kemudian meninggalkan kehidupannya di istana lalu uzlah sembari melakukan tafakkur dari peristiwa-peristiwa yang pernah dia saksikan di usia 19 tahun silam. Dikisahkan, dia mengembara selama 6 tahun, melalui 72 purnama serta melalui 2184 hari hingga pada akhirnya mengalami pencerahan—mencapai maqam spiritual paripurna, mencapai maqam Buddha. 

***

Anda bisa membayangkan ketiga hal yang dialami sang anak dalam kehidupan anda saat ini. Anda sudah menyaksikan manusia menjadi tua, merasakan sakit dan sudah terhitung lagi anda menyaksikan peristiwa kematian. Sedangkan Sang Buddha baru menyaksikan ketiga peristiwa tersebut baru di usianya ke-19 tahun. Coba sesekali anda ketika bersenang-senang, terus anda membayangkan bahwa esok akan mati. Dunia anda mungkin langsung terasa sempit nan sumpek. Anda kemudian menyadari bahwa itulah kehidupan yang anda jalani saat ini. “Hidup adalah penderitaan”, kata Buddha.

Penderitaan (dukkha) tidak lepas dari lintasan kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkondisi, terbentuk dari perpaduan unsur, merupakan sesuatu yang tidak memuaskan yang akan menimbulkan beban berat atau penderitaan. Dari Sang Buddha, penderitaan dibagi tiga bagian; pertama, penderitaan biasa (Dukkha-Dukkha), misalnya sakit flu, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya. Kedua, penderitaan karena perubahan (Viparinama-Dukkha), misalnya berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak tercapai apa yang diinginkan, sedih, ratap tangis, putus asa, dan sebagainya. Ketiga, penderitaan karena memiliki badan jasmani (Sankhara-Dukkha), yaitu penderitaan karena kita lahir sebagai manusia, sehingga bisa mengalami hal-hal seperti lemah, tidak berdaya, tua, dan mati.

Pengalaman Sang Buddha ketika mencari pencerahananya tak berbeda jauh dengan peristiwa yang dialami oleh seorang utusan Tuhan yang diutus sekitar 14 abad yang lalu di tanah Mekah ketika terjadi dehumanisasi dimana-mana. Namun dia bukan seorang pangeran atau putra mahkota, dia hanya seorang saudagar yang kemudian menggelisahkan situasi sosial di sekitarnya kemudian melakukan uzlah, tafakkur dalam Gua Hira lalu mendapat pencerahan (meminjam istilah Abu Kalam Azad)—mendapat wahyu dan mengemban peran sebagai penyampai risalah ketuhanan dan pemegang estafet terakhir pesan profetik nabi-nabi pendahulunya. Belakangan diangkat menjadi utusan-Nya.

***

Dalam Magga atau Jalan Mulia Berunsur Delapan, Sang Buddha mengajarkan untuk berpikir yang benar. Pertama, Nekkhamma, yaitu kondisi melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri. Hal ini berkaitan dengan ego manusia.

Lalu, Abyapada, cinta kasih, itikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan. Itikad ini yang mengantar manusia menjadi lebih lemah-lembut atau lebih welas-asih (compassion). Konteks pengkafiran antar umat beragama khususnya hanya akan membawa mudharat. Menolak manusia lainnya yang berbeda tidak membawa manfaat apa-apa, meski memiliki seribu kebenaran. 

Kemudian, Avihimsa, tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan. Dari sini, Mahatma Gandhi memulai gerakan ahimsa atau tanpa kekerasan. Sebab, secanggih apapun pemikiran manusia, atau sebanyak apapun umat Islam menghafal al-Qur’an, namun didasari dengan kebencian, tetap saja mendatangkan kemudharatan. “Jika mata ganti mata, hanya akan membuat dunia ini buta”, kata Gandhi.

Selanjutnya, Sang Buddha mengajarkan tentang ucapan yang benar, berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar/caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang tidak bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Ucapan itu dapat dikatakan benar ketika ucapan tersebut memiliki beralasan, ucapan tersebut memiliki faedah serta diucapkan tepat pada waktunya. Di luar itu, ucapan-ucapan hanya menjadi petaka atau mudharat yang akan menimpa diri manusia itu sendiri dan dapat melukai orang lain.

Dalam Buddhisme, dikenal istilah Ehipassiko yang berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harfiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma. Kualitas seorang muslim tidak akan diukur dari seberapa banyak dia menghafal dalil-dalil agama. Namun diukur dari seberapa banyak dia melakukan kebaikan (dhamma). Di tiap geraknya, jangan sampai mengulang kesalahan yang sama, harus ada peningkatan kualitas diri— yaumuhu khairan min amsihi secara terus menerus.

Selanjutnya, Sang Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam kehidupan. Sang Buddha mengajarkan untuk ”datang dan buktikan”, bukan ”datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini sejalan dengan pernyataan yang pernah dikatakan oleh Gus Dur bahwa Islam itu inspirasi, bukan (sekadar) inspirasi. Islam tak sekadar dipercayai namun harus dibuktikan. Islam bukan juga konsep langit yang selalu didiskusikan hingga harus diperdebatkan, ia harus membumi bersama manusia. Islam ialah inspirasi yang harus mengubah keadaan, dari skala mikro (diri sendiri) hingga skala makro (dunia).

Kanjeng Nabi Muhammad pada saat mendapat momen pencerahannya di Gua Hira bertepatan dengan bulan mulia—bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan ini, Sang Buddha mengajak umat Islam kembali tafakkur ke dalam relung-relung kesadarannya—memaknai puasa dan tiap gerak ibadah yang dilakukan hanya untuk-Nya. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta—Semoga Semua Makhluk Berbahagia.

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).