Social Media

Angka Kehamilan Tak Diinginkan Melonjak Selama Covid-19, Indonesia Bisa Belajar dari Jepang

Pandemi Covid-19 yang membuat manusia terbatasi mobilitasnya diprediksi akan membuat masalah kependudukan baru setelah wabah, angka kehamilan dan kelahiran meningkat. Hal itu disebabkan oleh menurunnya pemasangan alat kontrasepsi. Di Indonesia terjadi 50% penurunan angka pemasangan alat kontrasepsi selama pandemi. Faktor penyebabnya menurut penulis setidaknya karena dua hal : 1) Masyarakat lebih was-was untuk mengakses layanan alat kontrasepsi di luar rumah karena khawatir tertular Covid-19; atau 2) Tutupnya layanan kesehatan penyedia alat kontrasepsi.

Sebab Turunnya Pengguna Alat Kontrasepsi di Indonesia

Keluar rumah dan mengakses alat kontrasepsi di Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya memberikan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat Indonesia. Masyarakat khawatir ada penumpukan orang ketika mengakses layanan kesehatan dan membuka potensi penyebaran Covid-19. Hal ini menjadi alasan turunnya penggunaan alat kontrasepsi selama pandemi terjadi.

Tutupnya layanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas pun memberikan sumbangan faktor terhalangnya akses layanan alat kontrasepsi. Beberapa saat ini, banyak posyandu RT/RW ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan pelayanannya dialihkan kepada puskesmas kelurahan atau kecamatan terdekat. Sayangnya, banyak puskesmas berbagai wilayah di Indonesia tutup karena ada petugas atau pasiennya terdeteksi sebagai PDP atau terjangkit Covid-19. Padahal posyandu maupun puskesmas merupakan layanan kesehatan pemerintah paling dekat dan paling terjangkau bagi masyarakat untuk mengakses layanan kontrasepsi.

Bagi masyarakat yang ekonominya tergolong menengah ke atas bisa saja mencari akses ganti layanan kontrasepsi di rumah sakit swasta yang biayanya lebih mahal. Namun, bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah yang pemasukannya selama pandemi terbatas? Tentu lebih memilih mendahulukan kepentingan dasar lainnya seperti memenuhi kebutuhan sembako daripada akses layanan kontrasepsi.

Angka Kehamilan Tidak Diinginkan

United Nations Population Fund (UNFPA) memprediksi 47 juta perempuan kehilangan akses alat kontrasepsi yang menghasilkan 7 juta kehamilan tidak direncanakan jika kondisi pembatasan ke luar rumah selama enam bulan tidak diubah. Di Indonesia, diprediksikan jika selama pandemi Covid-19 ada 2,8 juta pasangan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi, maka tiap bulan akan ada 400.000 kehamilan.

Dalam dua sampai tiga bulan, angkanya bisa mencapai 800.000 kehamilan. Prediksi itu sudah mulai terlihat dari meningkatnya angka kehamilan di Tasikmalaya sebesar 105%. Merebaknya angka kehamilan tidak diinginkan itu mengingatkan kita pada fenomena baby boomer yang terjadi setelah masa Perang Dunia kedua berakhir. Kita bisa mengingat kembali apa permasalahan kependudukan yang ditimbulkan ketika baby boomer terjadi.

Pelajaran Baby Boomer di Jepang Pasca Perang Dunia II

Dampak baby boomer pasca Perang Dunia II akan berbeda setiap negara. Bagi Amerika Serikat sebagai negara pemenang perang dan negara dengan perekonomian tinggi, fenomena baby boomer kala itu bukan merupakan suatu masalah. Namun, bagaimana dengan negara yang kalah Perang Dunia II seperti Jepang? Permasalahan kependudukan akibat baby boomer berjalan sejak mereka lahir hingga memasuki usia pensiun.

Jepang mengalami kenaikan total angka kelahiran sebanyak 8 juta antara tahun 1947-1949. Sejak kemunculan baby boomer, perekonomian Jepang berfokus pada akomodasi pembiayaan pertumbuhan generasi. Masalah pertama yang dihadapi adalah krisis pangan. Banyak masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup karena supply makanan untuk mencukupi generasi baby boomer sangat rendah.

Permasalahan kedua, adalah ketersediaan layanan pendidikan. Ketika generasi baby boomer sudah beranjak pada usia 6 tahun dan masuk sekolah dasar di tahun 1953, terjadi kepadatan ruang kelas yang luar biasa di Jepang. Setiap kelas penuh dengan murid berjumlah 55-60 dan disetiap tingkat pendidikan harus menyediakan ruang kelas sekitar 10 ruang setiap sekolahnya. Tentu hal ini berhubungan juga dengan permasalahan ketersediaan jumlah sekolah yang tidak memadai di Jepang.

Permasalahan penggelembungan ruang dan bangunan sekolah berlanjut hingga SMP, SMA, bahkan kuliah. Akibat jumlah sekolah maupun universitas yang tidak memadai di Jepang untuk menampung generasi baby boomer, tingkat seleksi masuk sekolah menjadi sangat ketat. Tentu hal ini membuat layanan pendidikan tidak didapatkan secara maksimal bagi generasi baby boomer di Jepang.

Permasalahan kependudukan generasi baby boomer pun muncul pada usia pensiun. Di Jepang, sebagian besar perusahaan menetapkan usia 60 tahun sebagai batas usia pekerja. Pensiunnya generasi baby boomer berdampak pada menurunnya tingkat tabungan di Jepang. Tingkat tabungan akan menurun karena pensiunan baby boomer umumnya memiliki tingkat kebutuhan hidup relatif sama saat masih bekerja tetapi besaran pemasukan lebih rendah.

Awalnya, angka tabungan Jepang tentu naik seiring masuknya generasi baby boomer pada usia angkatan kerja. Setelah naik ke angka 17,3% pada tahun 1980, tingkat tabungan rumah tangga di Jepang mulai menurun ke angka 13,9% pada tahun 1990, lalu jatuh di bawah 10% pada tahun 2000 dan berlanjut turun menjadi 7,4% pada tahun 2003. Akibatnya, tingkat tabungan Jepang yang biasa berada pada posisi pertama atau kedua di antara negara berkembang, terlihat menurun seiring masuknya usia pensiun generasi baby boomer.

Permasalahan kependudukan seperti yang terjadi di Jepang sebagai negara yang kalah Perang Dunia II perlu menjadi pelajaran. Dalam kondisi pandemi dimana seluruh negara, termasuk Indonesia mengalami kondisi perekonomian terganggu dan mengalihkan seluruh sumber dayanya untuk menangani Covid19, maka akan menjadi rentetan beban yang tidak berkesudahan apabila baby boomer terjadi. Seperti keluar kandang harimau masuk kandang buaya, setelah selesai melewati wabah Covid-19 yang tentu negara mengalami ketidakstabilan ekonomi maka akan mengalami potensi dampak negatif kependudukan baby boomer jika angka kehamilan tidak diinginkan meningkat.

Bagaimana Solusinya?

Dalam kondisi pembatasan yang mengharuskan masyarakat berada di rumah, seyogianya terdapat layanan alat kontrasepsi yang mudah diakses masyarakat. Merespon kekhawatiran masyarakat untuk datang ke layanan kesehatan ketika mengakses atau konsultasi alat kontrasepsi, sebenarnya bisa dialihkan menjadi layanan Telehealth. Telehealth merupakan metode pelayanan kesehatan jarak jauh yang mampu menghubungkan pasien dengan tenaga kesehatan menggunakan teknologi dan informasi elektronik untuk hal kuratif, promotif, dan preventif.

Khususnya di Indonesia, akses Telehealth yang bisa menanggung biaya BPJS belum disediakan oleh pemerintah. Layanan telehealth hanya disediakan oleh beberapa perusahaan aplikasi startup yang satu kali konsultasi setidaknya dibandrol dengan harga 25 ribu rupiah, belum lagi biaya akses tindakan KB selanjutnya yang pasti berbayar. Tentu layanan seperti ini sulit diakses secara ekonomi bagi masyarakat menengah ke bawah yang biasanya gratis mengakses KB dengan BPJS.

Teleheath bisa disediakan gratis dan bekerjasama dengan BPJS untuk konsultasi seputar alat kontrasepsi sehingga dapat mengurangi intensitas masyarakat pergi ke puskesmas atau layanan kesehatan lainnya. Dari konsultasi tersebut dapat memberi bantuan dan prosedur terkait alat kontrasepsi apa yang cocok digunakan selama masa pandemi ini.

Apabila perlu ada penanganan lebih lanjut, Telehealth ini bisa mengatur pertemuan antara pasien dan tenaga kesehatan tanpa harus ada penumpukan di layanan kesehatan. Solusi ini bisa memberi edukasi dan membuat masyarakat mandiri dalam memilih alat kontrasepsinya sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat yang enggan memasang alat KB karena khawatir tertular Covid-19.

Solusi kedua sebagai lanjutan dari Telehealth adalah akses pembelian kontrasepsi darurat yang perlu dilonggarkan. Usulan ini pun pernah dikemukakan oleh Ibu Zumrotin K. Susilo selaku Ketua Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dalam diskusi INFID beberapa waktu lalu. Apabila pasangan suami istri sudah terlanjur melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan alat kontrasepsi, maka konsumsi kontrasepsi darurat (kondar) yang dibeli di apotek bisa menjadi solusinya.

Sayangnya, di Indonesia masyarakat yang ingin membeli kondar di apotek harus disertakan resep dokter. Apabila akses terdekat seperti puskesmas yang sudah penulis singgung di awal tulisan tadi saja ditutup, bagaimana masyarakat menengah ke bawah mendapatkan resep dokter?

Meminta resep dokter ke rumah sakit swasta tentu bukan merupakan solusi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Padahal di luar negeri saja, kondar diperjualbeikan bebas. Badan Obat-obatan dan Pangan AS (Food and Drug Administration/FDA) telah menyetujui penjualan kondar terutama yang berbentuk pil secara bebas. Kekhawatiran untuk menjualbelikan kondar secara bebas akan membahayakan karena berpengaruh terhadap hormonal pengguna KB sebenarnya bisa diantisipasi dari layanan konsultasi dan edukasi Telehealth serta arahan apoteker saat menjual belikan kondar.

Apabila dua solusi itu disediakan oleh pemerintah di Indonesia, prediksi angka kelahiran tidak diinginkan bisa diminimalisasi dan fenomena baby boomer tidak terjadi. Setidaknya setelah keluar dari kandang harimau, Indonesia tidak terjebak lagi masuk ke kandang buaya. Setelah lepas dari bayang-bayang Covid19, tidak menimbulkan permasalahan kependudukan.

Sumber: islami.co

Volunteer di Pusat Studi Gender UNU Yogyakarta sekaligus pengamat isu gender dan kebijakan.