Social Media

Gus Dur dan Gerakan Feminisme

Suatu kali Gus Dur menyatakan bahwa simpatinya terhadap gerakan feminisme menurun (decline). Anda pasti kaget kan? Bagaimana mungkin orang seperti Gus Dur yang selama ini dikenal melihat dan memperlakukan perempuan dengan adil bisa kehilangan respek terhadap gerakan feminisme?

Seperti diketahui, di dalam keluarga intinya, Gus Dur adalah satu-satunya laki-laki karena keempat anaknya adalah perempuan, dan tentu saja istrinya adalah juga seorang perempuan. Semua perempuan hebat di sekitar Gus Dur berbangga terhadap laki-laki yang pernah menjadi Presiden RI ke-4 ini, salah satunya karena caranya memperlakukan perempuan yang tidak hanya mengayomi tapi juga memberdayakan.

Seluruh anak perempuannya tumbuh menjadi pribadi-pribadi kuat. Bahkan istrinya, Ibu Sinta Nuriyah Wahid, mendapatkan gelar Doktor HC dalam bidang sosiologi agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Apa sebab Gus Dur menurun simpatinya pada gerakan yang digalang para feminis ini? Masalahnya “sepele”. Itu karena ada salah satu tokoh gerakan feminisme Indonesia, Julia Surjakusuma, yang menyemprotnya dengan keras bahwa Gus Dur memiliki pandangan bias terhadap perempuan hanya karena Gus Dur melontarkan joke tentang perkawinan Marlyn Monroe dan Einstein, yang alih-alih menghasilkan anak secantik Monroe dan secerdas Einsten sebagaimana yang diidamkan Monroe, malah yang dikhawatirkan Eintein adalah sebaliknya, wajahnya sejelek Eisntein dan otaknya seperti Monroe.

Sebetulnya, dengan joke itu, Gus Dur hanya ingin menunjukkan bahwa masyarakat kita masih sangat didominasi oleh pria (male-dominated society). Dalam joke Marlyn Monroe-Einstein, Gus Dur ingin menunjukkan bahwa dalam diskursus sehari-hari, perempuan adalah bagian dari agenda laki-laki, sedang perempuan tidak kuasa memasukkan laki-laki dalam agenda pembicaraan mereka.

Tapi seorang feminis yang “begitu keras” (istilahnya Gus Dur sendiri) seperti Julia Surjakusuma memandang setiap hal yang keluar dari mulut lelaki, termasuk dari Gus Dur, adalah perwujudan ideologi patriakhi yang mengendap di otak laki-laki, yang karenanya dituduh memiliki pandangan bias terhadap perempuan.

Bagi Gus Dur, perjuangan para feminis begitu berat. Beratnya tidak semata-mata karena dominasi laki-laki, tapi juga tidak jarang dirusak sendiri oleh para feminis yang tidak bijak dalam melakukan kampanye penyadaran terhadap laki-laki. Kalimatnya Gus Dur lebih menohok dari ini. Biarlah saya kutipkan secara langsung dari tulisannya, “Hak Asasi Wanita dalam Islam”:

“Penyadaran tentang hak-hak wanita perlu dilakukan terutama ditujukan pada kalangan pria. Pria selama ini punya previlege sangat tinggi, dan tidak ingin kehilangan previlege tersebut, dan wajar ia tidak mau kehilangan posisi dominannya. Untuk itu kita harus hati-hati dalam kampanye ini, seringkali upaya ini terganggu oleh sikap wanita sendiri yang sok menggurui. Sehingga membuat pria tetap ngotot, tidak peduli, apriori” (Wahid 2007:385).

Dari sinilah kemudian Gus Dur menceritakan bahwa dia disemprot dengan kemarahan yang sangat oleh Julia Surjakusuma karena joke di atas tadi. Julia menuduhnya sebagai laki-laki yang berpandangan bias terhadap perempuan. Atas tuduhan itu, Gus Dur justru merasa dialah korban stereotipe.

“Kemudian Julia marah sekali. Dia bilang saya punya bias terhadap wanita. Ini stereotipe yang ada sampai hari ini, dan lama-lama simpati saya terhadap gerakan feminis berkurang gara-gara Julia” (Ibid., 386).

Apakah dengan ini Gus Dur layak dicoret sebagai seorang feminis? Mungkin di mata para feminis gelombang kedua, nama Gus Dur sudah disilang merah dari gerakan feminisme. Bahkan ada seorang feminis yang menggebu-gebu menyatakan bahwa tidak mungkin ada seorang laki-laki yang feminis karena laki-laki tidak pernah merasakan pengalaman akan penindasan berbasis gender sebagaimana yang dirasakan perempuan.

Saya merenungkan di manakah posisi Gus Dur dalam gerakan feminisme atau dengan klausa yang lebih netral ‘gerakan keadilan berbasis gender’? Pada 1990, Linda J. Nicholson mengedit sebuah buku yang berjudul Feminism/Postmodernism.

Dalam pendahuluannya, dia menyatakan bahwa mulai akhir tahun 60-an hingga pertengahan 80-an, teori-teori feminisme dibangun di atas epistemologi strukturalisme Pencerahan, yang ditandai dengan keyakinan adanya satu struktur tunggal-universal atau prinsip umum yang yang berada di balik setiap realitas sosial (relasi laki-perempuan).

Sekalipun sejak era 90-an mulai tumbuh kesadaran bahwa cara pandang ini sebetulnya adalah sebentuk penindasan baru karena mengabaikan banyak suara perempuan lokal dan kelompok-kelompok marjinal lain, namun tendensi feminisme-strukturalis sampai kini masih sangat kuat (Nicholson 1990:1-2).

Dalam hal kesederajatan hak perempuan dan laki-laki, Gus Dur tegas menyatakan bahwa “persamaan hak wanita dan pria itu ada dan perlu” (Wahid 2007:383). Namun, Gus Dur lebih menekankan pada keseimbangan, kesalingpemahaman, dan keadilan. Gus Dur sama sekali tidak mempermasalahkan adanya pembagian peran publik-domestik antara laki-laki dan perempuan jika itu adalah sebuah kesepakatan yang menciptakan relasi seimbang dan adil antara suami-istri.

Gus Dur juga lebih bisa melihat relasi-relasi keadilan yang dipraktikkan secara antropologis oleh masyarakat kita. Suara Gus Dur dalam membela hak-hak perempuan tidak selalu heroik ala feminisme gelombang kedua yang elitis dan universalis (eurosentris). Misalnya, Gus Dur melihat praktik al-washiyat al-wajibah (membagi harta waris sebelum meninggal dunia) sebagai praktik resistensi perempuan lokal ketika faraid (fiqh formal) tidak mencerminkan keadilan gender.

Gus Dur juga mengapresiasi praktik kerja-kerja di ruang publik oleh masrakat desa-tradisional. Praktik ini tidak selalu dinarasikan dalam istilah-istilah mentereng, namun begitulah keseimbangan hidup antara suami-istri, saling menopang dalam kesepakatan diam-diam yang mereka pahami.

Jika ingin melihat beda antara cara pandang feminisme gelombang kedua dengan post-feminisme ala Gus Dur (Maaf, Gus, saya menggunakan istilah post-feminisme untuk menjelaskan posisimu), mari kita ikuti kisah Gus Dur yang ditanya oleh seorang feminis-Muslimah Indonesia tentang martabat seorang istri.

Dikisahkan, ada seorang laki-laki, pengusaha tampan, yang dikejar-kejar oleh seorang wanita. Laki-laki ini akhirnya jatuh dalam pelukan wanita tersebut. Ujung cerita, si pengusaha tampan ini tidak jadi dengan wanita selingkuhannya tersebut, dan kembali ke istrinya. Istrinya yang sabar menerima kembali dan memaafkannya. Gus Dur kemudian melanjutkan ceritanya:

Dia [feminis-Muslimah] bertanya sama saya, “Apa citra wanita [istri] yang begini baik atau buruk?” Saya jawab ini wanita mulia yang bisa memaafkan pasangannya. Terus dia bertanya lagi, “Apa itu tidak menunjukkan wanita Indonesia itu lemah? Pria berbuat apa saja wanita harus memaafkan?” Jawab saya sama saja. Kalau seandainya ada istri yang tidak karuan, maka suaminya harus mengerti. Harus mawas diri dan terus hidup bersama (Ibid., 380).

Dialog di atas menunjukkan dua perspektif dalam memandang relasi gender. Si feminis tersebut dengan sudut pandangnya yang fixed dan rigid dalam isu relasi laki dan perempuan memandang bahwa sosok istri itu merepresentasikan citra diri perempuan lemah.

Sedangkan, Gus Dur dengan sudut pandang post-feminisme tidak dipenjara oleh struktur rigid patriarkhi. Dia jelas tidak membenarkan perilaku laki-laki itu, tapi Gus Dur bisa membuat penilaian yang mungkin saja membuat geram kalangan feminis bahwa perempuan itu mulia. Ketika dituduh bahwa itu adalah pandangan bias laki-laki, dia dengan tegas mengatakan, laki-laki juga harus melakukan hal yang sama.

Menjadi feminis tidak selalu harus heroik bukan? Gitu saja kok repot!

Sumber: arrahim.id

Dewan Pakar Jaringan GUSDURian. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.